Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja neraca perdagangan barang Indonesia diperkirakan mencatatkan surplus yang lebih sempit pada Juni 2025, dari Mei 2025 yang mencapai US$4,3 miliar.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Andry Asmoro memprediksi surplus neraca perdagangan Juni 2025 akan mencapai US$3,32 miliar.
“Hal ini sejalan dengan peningkatan impor dari China, sementara ekspor melambat akibat melemahnya permintaan dari India dan China,” tuturnya, Kamis (31/7/2025).
Asmo melihat hal tersebut tercermin dari data Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan dan Kpler (aplikasi pelacakan kargo komoditas global) yang menunjukkan bahwa ekspor batu bara Indonesia ke China turun sekitar 30% year on year (YoY), sementara ekspor batu bara ke India turun 14%.
Surplus yang susut tersebut juga sejalan dengan ekspor yang meski diperkirakan tumbuh 9,7% YoY, tetapi turun 7,1% month to month (MtM). Penurunan ekspor bulanan mencerminkan aktivitas bisnis yang melemah, seperti terlihat dari penurunan lebih lanjut dalam PMI manufaktur Indonesia.
Bisnis mencatat bahwa Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia mengalami kontraksi hingga ke level 46,9 pada Juni 2025, atau menurun sejak 3 bulan terakhir.
Baca Juga
Lebih lanjut, Asmo menyampaikan bahwa penurunan harga baja dan nikel juga diperkirakan akan membebani kinerja ekspor. Sementara itu, pertumbuhan ekspor tahunan didukung oleh efek dasar yang rendah dari tahun sebelumnya, serta upaya percepatan impor sebagai respons terhadap kebijakan tarif Trump.
Sama halnya dengan impor yang juga diperkirakan tumbuh 5,9% YoY atau kontraksi 3,8% MtM. Pertumbuhan impor tahunan didorong oleh impor mesin dan kendaraan dari China.
Menurut Biro Statistik Nasional China, total ekspor China ke Indonesia naik sekitar 8% yoy pada Juni-25. Secara bulanan, impor Indonesia mengalami kontraksi, sejalan dengan penurunan sekitar 30% dalam impor terkait minyak dari Singapura.
Senada, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede juga memperkirakan surplus neraca dagang akan susut ke posisi US$3,39 miliar—sedikit lebih optimistis dari Asmo. Surplus ini didorong oleh kenaikan harga komoditas utama seperti batu bara dan CPO, serta kondisi perdagangan global yang lebih kondusif akibat kesepakatan dagang AS-China.
“Ekspor diproyeksikan tumbuh lebih tinggi sebesar 10,79% secara tahunan, didukung oleh kenaikan harga komoditas serta meningkatnya permintaan global yang tercermin dari perbaikan PMI manufaktur di berbagai negara tujuan ekspor,” jelasnya.
Meski ekspor tumbuh tinggi, tetapi surplus tertahan akibat pertumbuhan impor yang juga diperkirakan naik menjadi 6,78% YoY karena lonjakan harga minyak global akibat meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Josua memandang secara keseluruhan, surplus neraca perdagangan tetap positif meskipun tantangan eksternal masih berpotensi menekan pertumbuhan ekspor-impor dalam jangka menengah.
Sebagai perbandingan dari Mei 2025, nilai ekspor Indonesia kala itu mencapai US$24,61 miliar atau naik 9,68% YoY. Ekspor nonmigas Mei 2025 mencapai US$23,50 miliar, naik 11,80%. Sementara nilai impor mencapai US$20,31 miliar, naik 4,14% YoY. Demikian juga dengan impor nonmigas naik 5,44% menjadi US$17,67 miliar.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) Juli 2025 serta ekspor, impor, dan neraca dagang Juni 2025 pada Jumat (1/8/2025).