Bisnis.com, JAKARTA — Amerika Serikat (AS) disebut telah menyepakati perjanjian dagang dengan Thailand dan Kamboja, menyusul gencatan senjata antara kedua negara yang difasilitasi Presiden Donald Trump.
Hal tersebut diungkapkan Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick dalam wawancara dengan Sean Hannity di Fox News, Rabu (30/7/2025) malam waktu setempat.
“Tahukah Anda apa yang kami capai hari ini? Kami membuat kesepakatan dagang dengan Kamboja dan Thailand,” ujarnya dikutip dari Bloomberg.
Meski demikian, Lutnick tidak memberikan rincian lebih lanjut terkait besaran tarif yang disepakati dengan kedua negara hingga sesi wawancara berakhir.
Baik Thailand maupun Kamboja sebelumnya menghadapi ancaman tarif sebesar 36% mulai 1 Agustus 2025 atas produk-produk mereka yang masuk ke AS, pasar ekspor terbesar bagi keduanya.
Tekanan tinggi untuk menghindari tarif tersebut muncul setelah negara tetangga seperti Indonesia dan Filipina hanya dikenakan tarif 19%, serta Vietnam 20%.
Baca Juga
Adapun, Gedung Putih dan Departemen Perdagangan AS belum memberikan pernyataan resmi. Wakil Perdana Menteri Kamboja Sun Chanthol, yang memimpin tim negosiasi dagang, bahkan mengaku belum mengetahui adanya perjanjian baru.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Perdagangan Thailand, Poonpong Naiyanapakorn, mengatakan bahwa pemerintah berharap tarif akhir akan berada pada kisaran 18% hingga 20% agar sejajar dengan negara-negara tetangga. Menteri Keuangan Thailand Pichai Chunhavajira menyebut pengumuman resmi mengenai tarif baru diperkirakan keluar dalam 24 jam ke depan.
Trump menjadikan perundingan dagang sebagai alat tekanan agar kedua negara sepakat untuk berdamai. Dia mengancam Washington tidak akan menandatangani perjanjian dagang selama konflik perbatasan berlangsung.
Setelah kesepakatan damai tercapai, Trump langsung menghubungi para pemimpin kedua negara dan memerintahkan tim dagangnya untuk melanjutkan pembicaraan.
Penjabat Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, menyatakan bahwa dirinya optimistis akan tercapai kesepakatan dagang yang sangat baik dengan AS.
Meski demikian, pasar merespons dengan kehati-hatian. Indeks saham acuan Thailand sempat turun hingga 1,2% pada Kamis (31/7/2025) sebelum memangkas kerugian, sementara nilai tukar baht melemah untuk hari keenam berturut-turut dan menyentuh 32,76 per dolar AS, level terendah sejak 24 Juni.
Pernyataan Lutnick muncul hanya dua hari sebelum tenggat waktu yang ditetapkan Trump bagi mitra dagang AS untuk menyepakati tarif baru. Pada hari yang sama, AS juga mengumumkan kesepakatan dengan Korea Selatan yang menetapkan tarif 15% untuk produk impor dari negara tersebut.
Trump juga mengatakan akan mengenakan tarif 25% terhadap barang-barang asal India mulai Jumat ini dan mengancam sanksi tambahan terkait pembelian energi India dari Rusia.
Penawaran Dagang Thailand
Dalam upaya terakhir untuk menghindari tarif tinggi, Thailand menawarkan akses pasar yang lebih luas bagi produk-produk AS, termasuk penghapusan tarif atas 90% barang asal AS.
Thailand juga berkomitmen untuk mengurangi surplus dagang senilai US$46 miliar dengan AS hingga 70% dalam tiga tahun ke depan serta menindak praktik pengalihan asal barang (transshipment).
Menteri Keuangan Pichai menegaskan bahwa Thailand telah mengajukan proposal dagang yang mengandung kompromi yang masih bisa diterima secara rasional.
“Meski kami belum dapat memprediksi hasil akhirnya, saya pastikan tim negosiasi Thailand tidak tinggal diam, tidak pasif, dan tidak terlalu mengalah. Setiap isu telah dianalisis secara strategis demi kepentingan nasional," ujarnya.
Ekspor Thailand ke AS pada 2024 tercatat sebesar US$63 miliar atau sekitar 18% dari total pengiriman barang negara itu. Dalam enam bulan pertama 2025, ekspor melonjak sekitar 15% berkat percepatan pengiriman selama jeda pengenaan tarif tinggi oleh pemerintahan Trump.
Upaya untuk mendapatkan tarif yang lebih rendah dari AS dinilai krusial bagi Thailand yang sangat bergantung pada perdagangan, terlebih di tengah tekanan dari tingginya utang rumah tangga dan lemahnya konsumsi domestik.
Pejabat Thailand memperkirakan bahwa tarif 36% dapat memangkas setidaknya satu poin persentase dari produk domestik bruto (PDB) tahun ini.