Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J. Supit mengatakan data BPS yang menunjukkan pertumbuhan industri kuaral I/2015 melambat dari kuartal sebelumnya merupakan bukti bahwa program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah belum sesuai dengan kebutuhan dunia usaha.
"Saya tidak kaget. Kenyataannya semua sektor memang turun. Keseriusan pemerintah dipertanyakan, buktinya realisasi pembangunan infrastruktur baru dimulai bulan ini. Pemerintah seharusnya menyusun program penyelamatan industri jika ingin mengejar ekspor 300% pada 2019," katanya kepada Bisnis.com, Senin (4/5/2015).
Dia mengatakan penurunan daya beli masyarakat diperparah dengan kondisi ekonomi global yang tengah lesu. Kendati demikian, faktor pelemahan ekonomi global tidak boleh menjadi alasan penurunan pertumbuhan industri dalam negeri.
Permasalahan utama yang hingga kini menekan pertumbuhan industri dalam negeri adalah iklim investasi dan usaha yang buruk, ketidakpastian hukum, buruknya infrastruktur, serta lemahnya dukungan pemerintah daerah sebagai pemilik lahan untuk industri.
Anton mencontohkan kendati pasar global tengah lesu tetapi permintaan produk sepatu dunia tetap senilai US200 miliar per tahun, sementara hingga saat ini nilai ekspor Indonesia hanya US$4 miliar, kalah jauh dari Vietnam yang mampu meningkatkan ekspor menjadi US$10 miliar.
Tidak hanya itu, di pasar tekstil, nilai kebutuhan produk tekstil global tiap tahunnya mencapai US$700 miliar, sementara Indonesia hanya mampu berkontribusi sebesar 1,8% atau mengekspor US$1,3 miliar.
Ekonomi global memang tengah turun, tetapi kebutuhan barang tekstil dan sepatu tetap ada, tidak mungkin minus. Ekonomi global tidak bisa dijadikan alasan industri nasional lemah. Yang menjadi penentu adalah daya saing produk ditengah semakin ketatnya persaingan, katanya.
Dia mengatakan dalam upaya menarik investasi asing, pemerintah belum memiliki desain jelas terkait industri prioritas. Saat ini, Indonesia lebih membutuhkan industri padat karya yang menyerap tenaga kerja besar ketimbang industri padat modal yang membutuhkan tenaga kerja berpendidikan tinggi.
Pasalnya, sebagian besar tenaga kerja Indonesia berada pada pendidikan menengah rendah. Risikonya, jika pemerintah menarik banyak investasi padat modal, jumlah pengangguran akan semakin meningkat karena lapangan kerja diisi oleh tenaga profesional asing saat pemberlakuan masyarakat ekonomi Asean. []