Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf menuturkan saingan terberat industri fesyen lokal datang dari China dan Korea Selatan. Apalagi, hingga kini kain batik impor masih merajalela di pasar domestik. Menurutnya, keunggulan produk China yakni berani menawarkan harga yang murah ke pasar nasional.
Di sisi lain, Korsel lebih unggul dalam hal pengemasan produk ekonomi kreatifnya sehingga memiliki nilai jual terbaik. Berkaca dari dua negara tersebut, pengemasan batik Indonesia masih dirasa lemah. Padahal, di balik selembar kain batik memiliki ceritanya masing-masing yang dapat menjadi nilai tambah.
Selain itu, persoalan distribusi batik dan barang kerajinan lain di Indonesia masih menjadi PR pemerintah.
Panjangnya rantai distribusi menyebabkan harga batik menjadi kian mahal. Namun, harga yang tinggi ini tidak dinikmati para perajin. Tercatat, saat ini ada 39.000 IKM batik dengan serapan 900.000 pekerja dan nilai produksi US$39,4 juta.
“Pemerintah akan segera membenahi sistem distribusi produk kreatif sehingga tingginya harga produk akan dinikmati oleh para perajin,” katanya.
Kementerian Perdagangan mencatat setidaknya ada 10 negara asal impor batik, dengan tren yang terus menanjak setiap tahunnya. Impor tekstil batik dan motif batik dari 2012-2014 meningkat 17,9% atau setara US$13,24 juta.
Pada 2012, nilainya mencapai US$73,89 juta, setahun berikutnya naik lagi menjadi US$80,86 juta, dan tahun lalu nominalnya sudah menembus US$87,14 juta.
Setidaknya, selama periode Januari-April 2015, impor tekstil batik dan motif batik menembus US$34,91 juta, melonjak 24,1% dibandingkan periode yang sama 2014.