Bisnis.com, DENPASAR - Kelompok Kerja Krisis Nominee Indonesia (K3NI) menaksir jumlah penanaman modal asing terselubung di Bali sejak bertahun-tahun lalu hingga kini mencapai Rp102,9 triliun.
Data tersebut diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap notaris, pemilik properti, vila management, dan survei online.
Modus yang dipakai oleh warga negara asing dalam menginvestasikan dananya dengan bekerja sama dengan warna negara Indonesia untuk dijadikan sebagai pemilik dengan perjanjian mengikat atau nomine.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bali Panudiana Kuhn mendesak pemerintah memperlunak aturan dengan mengizinkan warga lokal mendapatkan modal asing sehingga dapat dikenai pajak. Pasalnya, modal terselubung tersebut selama ini bebas dari tanggung jawab pajak, karena tidak terlacak oleh petugas.
"Semua itu diatasnamakan atau undername. Sebenarnya salah, tetapi memang rule untuk modal asing di lapangan ribet dan tidak mudah," ungkapnya kepada Bisnis, Jumat (6/11/2015).
Panudiana memaparkan modal asing terselubung tersebut sebagian besar diinvestasikan dalam sektor akomodasi wisata, seperti vila dan hotel kelas melati. Dia menjelaskan properti yang dibangun kemudian disewakan dan pajaknya tidak masuk negara.
Praktik seperti itu dilakukan, karena aturan PMA sangat ketat seperti melarang investasi hotel kelas melati, sehingga investor individu memiliki cara lebih cepat.
Pemerintah disarankan agar mendata WNA yang memiliki usaha di Bali dan kemudian izinnya dipermudah agar dapat dipajaki. Dengan demikian, menurutnya, warga lokal juga dapat terbantu mendapatkan modal kerja lantaran mendapatkan kredit di bank tidak mudah.
Dia menyatakan modus nomine sebetulnya menyalahi aturan yang berlaku, tetapi pihaknya tidak dapat berbuat banyak karena praktik semacam itu sudah terjadi sejak lama. Selain WNA bekerja sama dengan warga lokal, banyak juga memutuskan menikah dengan WNI untuk memuluskan usahanya.
"Kalau mereka didata, kasih saja izin dipermudah, tetap dengan undername kan nanti kan bisa saja dipajaki. Ini sebenarnya usaha kecil tetapi nilainya miliaran," tuturnya.
Sementara itu, data yang diperoleh Bisnis dari Kelompok Kerja Krisis Nomine Indonesia (K3NI), diperkirakan sebanyak 50.000 orang WNA yang menetap secara resmi maupun semi formal.
Adapun jumlah properti dalam bentuk rumah atau villa yang diatasnamakan nomine sekitar 7.500 unit serta sebanyak 10.500 bidang tanah berukuran kecil sampai Ha.
Rerata nilai properti yang dikuasi sekitar Rp10,4 miliar per unit. Sebelumnya, Ketua Seksi Humas K3NI Susi Johnston mengungkapkan kepemilikan menggunakan atas nama warga lokal terjadi karena ada WNA yang tidak tahu untuk berinvestasi serta memang disengaja.
Padahal, sejatinya sudah ada persyaratan yang mengatur tentang aturan bagi WNA untuk dapat berinvestasi properti. Sayangnya, dalam praktik di lapangan semua aturan yang termuat tidak mudah dalam implementasi.
Alhasil banyak kepemilikan properti tersebut memunculkan masalah dan sengketa di kemudian hari. Bahkan, banyak di antara WNI yang terikat perjanjian dengan nomine harus menelan kekalahan dalam sidang.
Karena itu, kata dia, pemerintah perlu segera turun tangan mengatasi masalah nomine dengan cara memberikan sunset policy bagi WNA untuk menyelesaikan urusan kepemilikan lahan atau properti.
Sebab diprediksi akan ada sebanyak 5.000 unit properti akan berperkara, apabila persoalan nomine ini masih tetap tidak ada kejelasan.