Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Daya Saing Kian Rendah, Industri Mebel Mulai Ditinggalkan Investor

sosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia menyatakan investasi di sektor furnitur dan kerajinan pada tahun ini akan melambat seiring dengan permintaan pasar global yang lemah serta menurunnya daya saing Indonesia.
Ilustrasi/JIBI
Ilustrasi/JIBI

Bisnis.com, JAKARTA—Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia menyatakan investasi di sektor furnitur dan kerajinan pada tahun ini akan melambat seiring dengan permintaan pasar global yang lemah serta menurunnya daya saing Indonesia.

Rudi Halim, Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI), mengatakan sejumlah perusahaan furnitur besar penanaman modal asing di dalam negeri mulai merelokasi pabriknya ke Vietnam.

“Satu perusahaan furnitur global di Surabaya pindah ke Vietnam. Upah pekerja di Indonesia sudah terlalu tinggi dan beban logistik belum turun. Sementara di Vietnam upah pekerja murah serta produktivitas pekerja cukup tinggi,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (23/2/2016).

Saat ini, lanjutnya, nilai ekspor produk furnitur dan kerajinan Indonesia hanya mencapai US$2 miliar dari total permintaan global sebesar US$142 miliar per tahun. Eksportir furnitur terbesar dunia dipegang oleh China dengan nilai ekspor mencapai US$56 miliar.

Adapun nilai ekspor pesaing terdekat Indonesia, yakni Vietnam pada tahun lalu telah mencapai US$6 miliar dan tahun ini menargetkan US$7 miliar. Untuk meningkatkan daya saing Indonesia, ujarnya, pemerintah harus mempercepat pembangunan infrastruktur serta memperbaiki kinerja pelabuhan.

Selama ini, lanjutnya, kenaikan upah pekerja dijadikan bargaining politik kepada daerah, sehingga kenaikannya terlalu cepat dan menekan industri. Kendati saat ini upah pekerja telah diatur dalam PP No. 78/2015 tentang Pengupahan, sejumlah pihak masih menekan pengusaha untuk menaikkan upah.

Selain itu, lanjutnya, asosiasi meminta pemerintah tetap konsisten tidak menerapkan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang membutuhkan dana sertifikasi 30 juta – 40 juta per tiga tahun. Karena, hal ini akan menghambat pertumbuhan industri kecil.

“SVLK itu jangan diterapkan pada industri hilir, tetapi hulu. Jangan menyulitkan diri sendiri dengan memaksa Eropa mengakui SVLK, karena yang dibutuhkan adalah kualitas barang dan harga yang bersaing. Hingga saat ini China dan Vietnam tidak menerapkan sertifikat seperti SVLK,” ujarnya.

Hariyadi B. Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengatakan produktivitas tenaga kerja Indonesia telah kalah jauh dibandingkan pekerja Vietnam yang bekerja 48 jam per minggu atau selama enam hari penuh.

“Tenaga kerja kita hanya bekerja 40 jam per minggu, dengan upah yang hampir sama dengan Vietnam. Ini faktor utama turunnya realisasi investasi industri padat karya sepanjang 2015. Dengan Vietnam kita sudah kalah per unit cost,” ujarnya.

Sebelumnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal mengumumkan realisasi investasi 2015 mencapai Rp545,4 triliun, lebih tinggi dari target Rp519,5 triliun didorong oleh hampir seluruh sektor, kecuali sektor padat karya yang turun 12% dibandingkan tahun sebelumnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper