Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha hulu minyak dan gas bumi masih menunggu kepastian terkait dengan penerapan Peraturan Menteri ESDM No. 38/2015 tentang Percepatan Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi Nonkonvensional, karena belum ada syarat dan ketentuan yang jelas.
Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah mengatakan pihaknya banyak hal yang perlu diubah sebelum akhirnya peraturan tersebut bisa diimplementasikan.
Petunjuk pelaksanaan, katanya, harus memuat syarat dan ketentuan yang bisa membuat pengembangan lapangan gas metana batu bara (coalbed methane/CBM) dan shale oil sesuai dengan keekonomian.
Dalam pengelolaan WK nonkonvensional, kontraktor bisa memilih skema bagi hasil secara sliding scale dan gross profit scale.
Skema bagi hasil sliding scale dilakukan secara progresif mengikuti produksi secara kumulatif. Dengan demikian, bagi hasil semakin besar bila produksinya besar. Meski demikian, pengembalian biaya operasi atau cost recovery masih belum diatur secara jelas.
Sementara, skema bagi hasil gross split sliding scale tak lagi menerapkan cost recovery. Perhitungan bagi hasil tak akan mengakomodasi pengurangan biaya operasi. Di sisi lain, saat produksi tinggi bagi hasilnya pun mengikuti.
"Permen itu masih sangat global dan ada tiga jenis kontrak di sana. Banyak peraturan yang harus diubah lagi," ujarnya di Jakarta pada Kamis (21/4/2016).
Sammy yang juga CEO PT Ephindo tertarik dengan model bagi hasil gross split sliding scale. Meski begitu, perlu juklak yang jelas.
Pasalnya, ujar Sammy, skema ini tak akan menerapkan sistem cost recovery. Dengan demikian, biaya operasi yang sudah dikeluarkan tak bisa dikembalikan. Selain itu, fungsi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tak berjalan karena cost recovery tak dijalankan.
"SKK Migas nanti perannya seperti apa sistem kontrolnya, biaya yang sudah dikeluarkan nanti bagaimana?" katanya.
Dia menilai masalah keekonomian proyek bisa diatur dengan negosiasi yang dilakukan. Mekanisme terkait syarat dan ketentuan, skema bagi hasil dan insentif yang ditawarkan pemerintah, katanya, akan menjadi penawar ketika harga minyak rendah. "Harus dinegosiasikan dulu apakah keekonomiannya masuk apa enggak."
Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja mengatakan untuk implementasi beleid tentang percepatan wilayah kerja nonkonvensional banyak pelaku usaha memilih untuk menunda kegiatannya pada blok CBM. Padahal, dalam aturan tersebut pelaku usaha diperbolehkan untuk mengubah kontrak agar proyek memenuhi keekonomian.
Pilihan untuk menunda kegiatan pada wilayah kerja nonkonvensional, ujar Wirat, disebabkan rendahnya harga minyak. Alhasil, keuntungan yang diperoleh pun tergerus dan kontraktor menanti hingga harga minyak pulih. "Betul (penyebab penundaan) karena harga lagi murah begini. Sebagian besar punya blok CBM."