Bisnis.com, JAKARTA-Proses pembentukan holding BUMN Migas pada tahap penggabungan PT Pertamina Gas (Pertagas) ke dalam PT Perusahaan Gas Negara Tbk. terkendala aksi penolakan Serikat Pekerja Pertamina Gas (SPPG) terkait dana akuisisi.
SPPG mengungkapkan sejumlah alasan untuk menolak instruksi Kementerian BUMN melebur Pertagas sebagai anak usaha PGN, antara lain, akuisisi saham dan seluruh aset Pertagas oleh PGN disebut membutuhkan dana tunai yang sangat besar. Karena itu, SPPG meragukan PGN memiliki dana yang cukup untuk melakukan akuisisi tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Analis Investa Saran Mandiri, Hans Kwee, menilai integrasi Pertagas ke PGN masuk dalam kategori internal restructuring, bukan transaksi akuisisi berdasarkan mekanisme pasar. Oleh karena itu, proses tersebut seharusnya dilakukan seefisien mungkin dan tidak melibatkan jumlah uang yang banyak.
"Tujuan awalnya kan untuk membentuk holding yang kuat dengan Pertamina sebagai induknya. Jadi seharusnya prosesnya tidak mengeluarkan uang, karena ini akuisisi internal," kata Hans.
Ia sendiri mengaku tidak bisa menghitung berapa harga saham Pertagas berdasarkan book value yang ideal untuk ditebus PGN. Pasalnya Pertagas bukan perusahaan publik, jadi sulit mengakses laporan keuangannya untuk membuat valuasi harga.
Selain harus mengeluarkan uang, Hans menyebut proses akuisisi menggunakan mekanisme pasar juga menimbulkan kewajiban perpajakan yang harus ditanggung oleh Pertamina, PGN, dan Pertagas itu sendiri sehingga transaksi tersebut sebaiknya dihindari.
"Menurut saya lebih baik mekanisme integrasinya dilakukan dengan cara merger melalui share swap. Pertamina menyerahkan sahamnya di Pertagas sebagai milik Pemerintah, lalu selanjutnya Pemerintah menginbreng saham tersebut sebagai modal PGN," katanya.
Proses tersebut menurut Hans tidak akan memakan waktu lama seperti yang dikhawatirkan pemerintah selama ini. Selain itu yang lebih penting lagi, tidak perlu ada banyak uang yang dikeluarkan untuk menyelesaikannya.
"Ibaratnya Pemerintah hanya mengeluarkan dari kantong kiri dan masuk lagi ke kantong kanan," imbuh Hans.
TARIK ULUR HARGA
Sementara itu, Analis Binaartha Parama Sekuritas, Muhammad Nafan Aji menerjemahkan aksi penolakan SPPG merupakan bentuk kekhawatiran para pekerja Pertagas atas masa depan mata pencahariannya di perusahaan tersebut pasca diakuisisi.
"Dari sisi Serikat Pekerja saya melihat mereka khawatir akan ada efisiensi tenaga kerja. Jadi mungkin mereka memerlukan kejelasan terkait jaminan kerja dan itu pun sudah dijamin oleh Kementerian BUMN bahwa tidak akan terjadi PHK," kata Nafan.
Untuk itu, Nafan menyarankan agar manajemen PGN melakukan pendekatan persuasif dan meyakinkan SPPG bahwa setelah Pertagas menjadi anak usaha PGN, manajemen subholding gas tersebut tidak akan mengubah komposisi jumlah pekerja dan tingkat kesejahteraannya.
"Ini merupakan tantangan yang harus diselesaikan manajemen PGN secara damai. Kecuali kalau ternyata SPPG itu menjadi bagian dari teknik tarik ulur negosiasi oleh Pertagas, sehingga bisa mendapatkan harga tertentu dalam kesepakatan," ungkapnya.
Jika hal tersebut memang terjadi, Nafan menilai Kementerian BUMN sebagai pengelola perusahaan pelat merah di Indonesia harus turun tangan dan membuat keputusan yang tegas.
Dikutip dari laporan keuangan 2017 kedua perusahaan, diketahui bahwa PGN memiliki kinerja yang jauh lebih baik dibandingkan Pertagas.
PGN tercatat memiliki total aset bernilai US$ 6,29 miliar di antaranya adalah jaringan infrastruktur pipa gas yang sampai saat ini mencapai 7.453 kilometer (km).
Jumlah aset PGN tersebut 3,3 kali lipat lebih besar dibandingkan Pertagas yang hanya memiliki aset senilai US$ 1,92 miliar. Panjang pipa yang dikelola Pertagas pun hanya sepanjang 2.438 km yang digunakan untuk menyalurkan gas kepada pembeli.
Sementara dari sisi pendapatan, PGN berhasil mengumpulkan uang US$ 2,97 miliar sepanjang 2017. Realisasi itu 4,7 kali lipat lebih besar dibandingkan pendapatan Pertagas tahun lalu sebanyak US$ 625 juta.