Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menghitung perbedaan jumlah nilai yang pemerintah bayarkan dan nilai yang harus ditanggung PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Pertamina yang ditetapkan sesuai rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hasil evaluasi BPK, pemerintah melakukan penambahan pagu anggaran subsidi listrik senilai Rp5,22 triliun tidak sesuai UU APBN Perubahan 2017 dan tidak berdasarkan pertimbangan yang memadai.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa soal subsidi listrik, solar dan premium, Kepala BPK memang meminta kementerian bersama-sama dengan DPR untuk menetapkan berasaran nilainya.
Dalam audit BPK, menurutnya, kalkulasi nilai subsidi harus ditetapkan bersama-sama dari sisi Undang Undang APBN.
Dalam Laporan Atas Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang diterbitkan lembaga auditor keuangan negara tersebut, salah satunya merekomendasikan kepada Kemenkeu agar bersama dengan DPR mengatur mekanisme pertanggungjawaban atas penambahan anggaran pagu APBN subsidi di luar parameter yang ditetapkan.
“Status perbedaan antara jumlah yang kita bayarkan dengan apa yang mereka harus tanggung, terutama PLN dan Pertamina nanti ditetapkan sesuai rekomendasi BPK,” katanya, di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (4/6/2018).
Sebagai tindaklanjut audit BPK, Sri Mulyani mengaku sedang melakukan kalkulasi nilai subsidi dalam APBN-P 2018 dan selanjutnya akan dilaporkan ke DPR. Salah satu penyebab terjadinya perbedaan nilai subsidi adalah perubahan harga minyak dunia.
“Harga minyak dunia ini selalu bergerak, sementara kita menetapkan harga solar dan premium sama,” tambahnya.
Selain ketidaksesuaian anggaran subsidi listrik dengan APBN Perubahan 2017, lembaga auditor negara tersebut juga menemukan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di 35 kementerian tidak sesuai dengan ketentuan.
Dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas LKPP Tahun 2017 total pengeleloaan PNBP yang belum sesuai dengan ketentuan mencapai Rp1,25 triliun, termasuk dalam bentuk mata uang asing senilai US$13,1 juta, 2,2 juta Euro, dan 1,9 juta poundsterling.
Temuan yang dilakukan BPK tersebut sebenarnya memiliki korelasi dengan temuan tahun sebelumnya. Dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) LKPP tahun 2016, BPK mengungkapkan permasalahan mengenai pengelolaan PNBP dan dan piutang di kementerian atau lembaga.
Persoalan yang ditemukan mencakup pungutan yang melebihi tarif yang diatur peraturan pemerintah (PP) hingga mengenai pengelolaan piutang PNBP.
Oleh karena itu, dalam rekomendasi atas temuan di LKPP tahun 2016, BPK meminta Menteri Keuangan untuk meninjau ulang sistem dan kebijakan terkait permasalahan berukang dalam pengelolaan PNBP. Selain itu, lembaga auditor negara itu juga meminta para menteri dan pimpinan lembaga untuk meningkatkan pengendaloan dalam pengelolaan PNBP, termasuk piutang kementerian dan lembaga (K/L).
Sebagai bagian dari rekomendasi itu BPK juga menginstruksikan Ditjen Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan supaya mengoptimalkan berkoordinasi dengan lembaga lainnya untuk pengurusan piutang PNBP.
Hal yang terakhir terkait dengan pengendalian terkait PNBP yang bersumber dari pemanfaatan barang milik negara (BMN).