Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah berencana mencabut kebijakan wajib memasok kebutuhan dalam negeri alias Domestic Market Obligation (DMO) batu bara, termasuk untuk pembangkit listrik yang dioperasikan PT PLN (Persero). Alasannya, demi mendongkrak nilai ekspor batu bara guna menambah devisa untuk mengamankan defisit transaksi berjalan Indonesia.
Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Nomor 23K/30/MEM/2018, minimal 25% produksi batu bara harus dijual ke PLN.
Adapun Kepmen ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batu Bara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik menyebutkan DMO harga batu bara sektor ketenagalistrikan dipatok maksimal US$70 per ton untuk kalori 6.332 GAR atau mengikuti Harga Batu bara Acuan (HBA), jika HBA di bawah US$70 per metrik ton.
Namun, alasan itu sesungguhnya mengada-ada. Pasalnya, ketentuan DMO batu bara hanya 25% dari total penjualan, sedangkan 75% masih tetap bisa diekspor dengan harga pasar.
Dengan DMO 25%, penambahan devisa dari ekspor sangat tidak signifikan, bahkan diperkirakan tidak ada tambahan devisa sama sekali untuk mengurangi defisit neraca pembayaran.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, total produksi batu bara pada 2018 diperkirakan sebesar 425 juta metrik ton. Sementara itu, harga pasar batu bara pada Juli 2018 sebesar US$104,65 per metrik ton.
Jika penjualan 25% kepada PLN atau sebesar 106 juta metrik ton dijual dengan harga pasar, maka tambahan pendapatan pengusaha batu bara naik menjadi US$11,12 miliar. Tetapi kalau menggunakan harga DMO US$70 per metrik ton, pendapatan turun menjadi US$7,44 miliar.
Selisih perbedaan harga tersebut sebesar US$3,68 miliar. Nilai ini tidak signifikan jika dibandingkan defisit neraca pembayaran 2018 yang diproyeksi US$25 miliar.
Berdasarkan pernyataan Wakil Menteri ESDM Achandra Tahar, bukan DMO produksi 25% yang dicabut, tetapi cap DMO harga US$70 yang akan dibatalkan. Artinya, pengusaha batu bara tidak mengekspor seluruh total produksi batu bara sebesar 425 juta metrik ton, tetapi tetap menjual ke PLN sebesar 25% produksi atau sekitar 106,25 juta metrik ton.
Jika benar yang dikatakan Achandra, maka tidak akan ada tambahan devisa dari pendapatan ekspor, melainkan penambahan pendapatan pengusaha batu bara dari PLN, yang berasal dari kenaikan harga jual dari US$70 naik menjadi US$104,65.
Dengan demikian, pembatalan DMO hanya menambah pendapatan pengusaha batu bara sekaligus menambah beban biaya bagi PLN.
Jika seluruh produksi batu bara sebesar 425 metrik ton diekspor, maka baru akan ada tambahan devisa dari sebesar US$3,68 miliar. Konsekuensinya, PLN harus mengimpor seluruh kebutuhan batu bara, yang justru bakal memperlemah neraca pembayaran.
Rencana tambahan subsidi terhadap PLN, dari iuran pengusaha batu bara, juga kemungkinan tidak akan mencukupi untuk menutup beban biaya PLN akibat pembatalan DMO.
Tambahan beban biaya PLN diperkirakan sebesar US$3,68 miliar, sedangkan iuran dari pengusaha US$3 per metrik ton. Dengan demikian, dana yang terkumpul sebesar US$1,28 miliar.
Jumlah iuran itu tidak akan mencukupi karena masih ada selisih yang menjadi beban PLN senilai US$2,4 miliar. Selain itu, akan ada time lag antara pemberlakuan pembatalan DMO harga dengan proses pengumpulan iuran.
Apalagi, masih menunggu dibentuknya lembaga pengumpul di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sehingga semakin memperpanjang time lag dan turut memperpanjang beban biaya PLN.
Di tengah kenaikan harga energi primer yang digunakan pembangkit listrik yakni BBM, solar, gas, batu bara, harga jual listrik dari Independent Power Producer (IPP), PLN juga dibebani Public Service Obligation (PSO) untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga 2019 dan ditugasi pemerintah untuk mencapai rasio elektrifikasi 100% serta proyek 35.000 MW.
Ditambah, PLN sudah menderita kerugian sebesar Rp6,49 triliun pada semester I/2018. Kondisi ini jauh di bawah capaian pada periode yang sama tahun sebelumnya, yang mencatatkan laba bersih Rp510,17 miliar.
Pembatalan DMO harga itu akan semakin memperbesar kerugian PLN. Jika kerugian PLN itu dibiarkan berlarut-larut, maka tidak menutup kemungkinan perusahaan tersebut terancam bangkrut.
Kalau Pabrik Setrum satu-satunya di Indonesia ini benar-benar bangkrut, tidak dapat dihindari Nusantara akan kembali gelap gulita. Pada saat itu, PLN bukan lagi sebagai “Perusahaan Listrik Negara”, tetapi berubah menjadi “Perusahaan Lilin Negara”. Sungguh amat ironis.
Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, termasuk untuk mencegah kebangkrutan PLN agar tidak menjadi Perusahaan Lilin Negara, maka kebijakan pembatalan DMO harga batu bara harus dibatalkan.
Pasalnya, pembatalan DMO harga batu bara termasuk kebijakan blunder, yang tidak menambah devisa dari ekspor batu bara untuk mengurangi defisit neraca pembayaran, melainkan hanya menambah pendapatan pengusaha batu bara, sekaligus menambah beban biaya PLN.