Bisnis.com, JAKARTA – Industri rumput laut mencatatkan pertumbuhan produksi dan ekspor yang positif.
Regulasi yang mendukung industri dinilai perlu diformulasikan untuk pengembangan sektor yang dinilai mampu gerakkan perekonomian daerah pesisir ini.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menunjukkan produksi rumput laut cukup stabil. Pada 2013 produksi rumput laut nasional mencapai 9,3 juta ton.
Pada 2014 jumlahnya meningkat jadi 10,1 juta ton dan pada 2015 mencapai 11,3 juta ton. Jumlahnya sedikit menurun pada 2016 menjadi 11,1 juta ton dan sedikit merosot pada 2017 menjadi 10,8 juta ton.
Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), Safari Azis, menjelaskan komoditas tersebut menyimpan potensi besar untuk terus dikembangkan. Dia pun menjelaskan, Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang menjadi tempat yang sangat potensial untuk mengembangkan rumput laut.
Data ARLI menunjukkan budidaya rumput laut dapat dilakukan sepanjang tahun di beberapa lokasi, seperti bagian timur laut Sulawesi, kepulauan Sunda Kecil dan Madura, Laut Banda, Halmahera, serta Papua.
Baca Juga
Di lokasi lain budidaya dapat dilakukan bermusim, dengan siklus panen lima hingga enam kali. Daerah tersebut adalah Laut Jawa, Laut Sulu, Laut Sulawesi, dan Selat Makassar.
"Merupakan suatu keunggulan komparatif kita di sektor hulunya, ini merupakan satu hal yang perlu kita jaga. Nusantara ini luas, sehingga kita bisa mengatur pola tanam kita pada musim-musim tertentu, ada yang hujan, ada yang tidak terkena hujan sehingga kita bisa produksi sepanjang tahun," ujar Safari kepada Bisnis, Rabu (14/11/2018).
Meskipun produksi sempat melambat, nilai ekspornya komoditas tersebut justru meningkat. Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2013 ekspor komoditas rumput laut mencatatkan nilai US$174,4 juta dan meningkat pada 2014 jadi US$226,2 juta.
Nilai ekspor merosot hampir setengahnya pada 2015 menjadi US114,2 juta, tetapi jumlahnya kembali meningkat. Pada 2016 tercatat nilai ekspor sebesar US$124 juta dan pada 2017 mencapai US$158,8 juta.
Safari menjelaskan bahwa komoditas rumput laut masih berorientasi ekspor. ARLI mencatat nilai ekspornya saat ini kurang lebih US$200 juta. Safari mengklaim uang yang beredar di daerah bisa tiga kali lipat dari nilai ekspor. "Sudah US$600 juta yang beredar di masyarakat," ujar Safari.
Menurutnya industri rumput laut dapat menjadi penggerak utama perekonomian pesisir karena jumlah pesisir yang melintang luas dan cocok dijadikan lokasi budidaya. Selain itu, siklus panen yang relatif cepat dan petani berlaku sebagai pemilik, membuat industri tersebut dirasa ideal. Dia bahkan menyatakan hukum korporat tak berlaku dalam industri tersebut.
"Petani yang lahan budidayanya di laut merupakan pekerja, pemilik, sekaligus penjual. Jadi kepemilikan lahan dan sistem kerja tidak seperti 'korporat'," ujar Safari kepada Bisnis.
Safari menjelaskan orientasi ekspor tersebut terjadi karena rendahnya permintaan dalam negeri. Untuk itu, dia menilai perlu adanya promosi pemanfaatan hasil olahan rumput laut di dalam negeri.
Saat ini, industri dalam negeri masih fokus mengolah bahan baku rumput laut menjadi hidrokoloid (seperti agar-agar), padahal menurut Safari masih terdapat beberapa cara pengolahan lain yang bisa dikonsumsi industri maupun masyarakat.
Kebijakan pemerintah pun menurutnya perlu ditinjau ulang, khususnya mengenai larangan ekspor bahan baku. Safari menjelaskan bahwa rumput laut merupakan bahan baku, sehingga pemerintah perlu menerapkan strategi dan pendekatan yang mengacu pada konsep global value chain.