Jika menilik laporan OECD, rendahnya rasio pajak Indonesia tak bisa dipisahkan dari kontribusi sektor-sektor utama ekonomi Indonesia ke penerimaan pajak yang masih rendah, tentu di luar sektor manufaktur dan perdagangan.
Sektor pertanian masih begitu dominan dan tak banyak berkontribusi bagi penerimaan pajak. Sebagai contoh, pada 2018, size ekonomi sektor pertanian di PDB sebesar 12,81% atau Rp1.900,4 triliun. Namun kontribusinya ke penerimaan pajak hanya Rp20,69 triliun atau 1,7% dari realisasi penerimaan pajak 2018.
Rendahnya penerimaan pajak dari sektor pertanian merupakan implikasi dari pembebasan sejumlah komoditas pertanian dari pengenaan pajak, sebagai konsekuensi dari menjaga daya saing sektor tersebut.
Selain pertanian, besarnya porsi sektor informal dan tingginya baseline pengusaha kena pajak (PKP) sebesar Rp4,8 miliar juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menaikan rasio pajak.
Hal itu bisa terjadi, pasalnya sektor informal merupakan sektor yang hard to tax atau sulit dipajaki dan sebagian belum masuk dalam sistem administrasi perpajakan pemerintah. Kalaupun telah masuk dalam sistem, karena peredaran bruto-nya masih di bawah Rp4,8 miliar, tarif pajak yang dikenakan hanya 0,5%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan skema korporasi umumnya yang dikenakan tarif 25%.
Baca Juga
Padahal kalau mau membandingkannya dengan negara lain, dengan nilai sebesar Rp4,8 miliar, baseline PKP Indonesia tercatat sebesar Rp4,8 miliar, angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Filipina, maupun Vietnam.
Bahkan khusus Vietnam, negara paman Ho ini tercatat memiliki baseline PKP yang paling rendah dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, hal itu dikarenakan, pemerintah Vietnam mengenakan PPN di hampir semua jenis barang. (bersambung halaman berikutnya)