Terlepas dari menurunnya risiko penyusutan bobot, Beni menyebutkan sejumlah kendala masih dihadapi pelaku usaha kala mengirimkan hewan ternak dengan fasilitas tol laut.
Sejumlah syarat perizinan ia sebut membuat pemasok lebih memilih mengapalkan hewan ternak melalui kapal kargo biasa.
“Ada beberapa kendala seperti penyiapan sapi yang harus sesuai dengan kapasitas. Jadi, kalau di Kupang belum penuh, diambil dari daerah lain. Waktunya pun tiap 2 minggu sekali. Sebenarnya sapi itu banyak, tapi kalau harus memenuhi syarat tersebut dan tetap memerlukan ada izin Dirjen, lebih baik menggunakan kapal kargo yang setiap saat muat. Selama ini begitu,” tuturnya.
Opsi untuk memanfaatkan rumah potong hewan (RPH) dan rantai dingin pun disebut Beni tak banyak diminati pemasok sapi potong lokal.
Pasalnya, pelaku usaha masih kesulitan untuk memetakan pasar yang bisa menyerap sisa pemotongan seperti kulit dan tulang yang secara umum tidak banyak diserap di daerah produksi.
Untuk pengembangan bisnis RPH, Oksan pun menyebutkan perlu adanya pasokan sapi potong yang stabil untuk menjamin keberlanjutan. Jika tak demikian, operasional RPH bisa merugi.
Mimpi swasembada daging sapi memang tak bisa hanya dicapai melalui peningkatan populasi ternak. Jarak yang membentang antara pusat populasi ternak dengan pusat konsumsi daging sapi juga menjadi salah satu pekerjaan rumah yang harus dibereskan.