Bisnis.com, JAKARTA - Program penggunaan bibit kultur jaringan yang dicanangkan pemerintah dinilai bisa mengganggu pasar rumput laut nasional maupun global. Bahkan, ada kekhawatiran produk olahan komoditas ini bisa dikeluarkan dalam daftar produk organik pada 2023.
Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia Safari Azis mengatakan bahwa rumput laut Indonesia bagian dari rantai nilai dan pasok dunia. Oleh karena itu, dia mempertanyakan dampak dari penggunaan bibit kultur jaringan rumput laut jenis eucheuma cottonii yang diklaim memiliki kandungan karaginan tinggi, dapat meningkatkan kualitas, dan mempercepat masa produksi rumput laut.
"Jadi, sebelum benar-benar diterapkan dan diedarkan, sebaiknya hasil inovasi pembibitan terbaru perlu dievaluasi yang mendalam dan harus memperhatikan standar yang terkait dengan regulasi keamanan pangan sebelum nantinya berpengaruh pada pasar," ujar Safari dalam keterangan tertulis, Jumat (13/12/2019).
Pihaknya mengaku belum sepenuhnya mengetahui proses pembuatan bibit rumput laut ini. Hal ini tentu akan dipertanyakan pula oleh pengguna, bahkan dipersoalkan pesaing.
Safari berharap pemerintah tidak dengan mudah memberikan informasi jika bibit hasil kultur jaringan itu organik karena ada ketentuan dan lembaga yang berwenang untuk menetapkannya. Pelaku usaha khawatir penerapan bibit itu akan menambah persoalan baru jika diminta sertifikat keorganikannya.
Bibit rumput laut yang digunakan akan dipertanyakan mengenai ketertelusurannya. Misal, jika bibit yang digunakan merupakan bibit hasil dari kultur jaringan, maka perlu diketahui dari mana bibit parental atau asal dari setiap bibit kultur jaringan yang dikembangkan.
Selain itu, perlu diperhatikan prosedur persiapan bibit tersebut selama di laboratorium, apakah ada penggunaan medium yang diperkaya, apakah sudah melalui tahapan aklimatisasi dan uji kelayakan yang komprehensif, apakah bibit yang dihasilkan sesuai dengan standar yang ada atau telah mengikuti (comply) dengan aturan-aturan internasional.
Oleh sebab itu, Safari berpendapat seharusnya dipertimbangkan dan diperhatikan terlebih dahulu efek-efek yang akan timbul dengan penerapan bibit tersebut. Apalagi, bibit kultur jaringan ini oleh kalangan dunia belum mendapatkan pengakuan dari lembaga yang kredibel.
"Jika di kemudian hari ternyata hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan petani dan pembudidaya atau bahkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan industri dan pasar dunia, tentu akan menjadi bumerang," tegas Safari.
Safari pun menegaskan sistem kultur jaringan rumput laut tidak dapat disamakan perlakuannya dengan komoditas lainnya seperti coklat, kopi, maupun sawit.
Menurut dia, jauh sebelum diedarkan, produk bibit itu harus diakui secara formal baik oleh komunitas rumput laut lokal maupun internasional untuk mendapatkan legitimasi. Pasalnya, Indonesia pernah dihadapkan pada isu pemberlakuan delisting rumput laut dalam daftar produk organik.
Pemberlakuan delisting itu berpotensi menurunkan ekspor rumput laut Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor, utamanya China dan Amerika Serikat.
"Selama ini kami memperjuangkan dan meyakinkan dunia bahwa rumput laut Indonesia dibudidayakan dengan konsep alami dan kelestarian lingkungan, tidak ada unsur kimia dan rekayasa genetik, dan lain-lain. Prinsip-prinsip ini yang harus kita jaga," pinta Safari.
Pihaknya berharap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dapat memperhatikan secara serius masalah ini karena mulai 2021 sudah akan dilakukan kembali evaluasi mengenai daftar produk organik dari olahan rumput laut, yaitu agar-agar dan karaginan oleh pemerintah AS melalui United States Department of Agriculture (USDA).
Adapun persoalan yang sebelumnya ada di US Food and Drug Administration (FDA) tidak diungkap lagi. Jika evaluasi ini dianggap ada masalah, maka produk olahan rumput laut bisa dikeluarkan dalam daftar produk organik pada 2023.