Bisnis.com, SEMARANG — Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat ada penambahan 40 investasi baru di industri farmasi dalam kurun 2014 hingga 2019.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Penny K Lukito mengatakan dari 40 investasi tersebut, 17 di antaranya berasal dari penanaman modal asing. Secara total saat ini Indonesia telah memiliki 224 produsen obat.
"Hari ini resmi berproduksi PT Sampharindo Retroviral Indonesia di Semarang, nanti akan ada dua lagi karena saat ini masih dalam proses penyelesaian izinnya," katanya, Kamis (27/2/2020).
Penny mengatakan seluruh investasi industri farmasi tersebut ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dan produk obat esensial dalam negeri yang besar. Selain tentunya untuk memasok kebutuhan ekspor antara lain melalui produk biologi, onkologi, dan anti-retroviral.
Menurut Penny pembangunan dan pengembangan industri farmasi ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Rencana Induk Pembangunan Nasional (RIPIN) 2015-2035, di mana salah satu industri yang menjadi perhatian adalah industri farmasi, kosmetik, dan makanan.
Hal ini juga sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 6/2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi yang diharapkan akan terus mendorong dunia usaha untuk mengembangkan inovasi dan daya saing di pasar internasional.
Baca Juga
Penny mengemukakan untuk meningkatkan investasi di bidang farmasi, dalam tiga tahun terakhir pihaknya telah melakukan berbagai perbaikan dalam tata laksana pelayanan publik.
Perbaikan itu termasuk efisiensi pengawasan pre-market dan peningkatan efektivitas pengawasan post-market, baik melalui upaya deregulasi, simplifikasi proses registrasi dan sertifikasi fasilitas, serta pembinaan melalui pendampingan.
Selain itu, Badan POM memberikan penghargaan berupa insentif percepatan proses sertifikasi fasilitas dan produk serta inisiasi Business to Business Meeting untuk peluang ekspor bagi pelaku usaha yang telah memenuhi ketentuan dan melakukan inovasi.
Salah satu bukti dukungan Badan POM adalah diresmikannya fasilitas produksi obat anti-retroviral baru PT Sampharindo Retroviral Indonesia (SRI) sekaligus memberikan sertifikat cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dan nomor izin edar (NIE) untuk obat anti-retroviral.
PT SRI pun dipastikan menjadi pionir pabrik pembuat obat anti-retroviral di Indonesia. Produk yang dihasilkan akan membantu para penderita penyakit HIV/AIDS agar mencegah penularan.
"Pemilihan jenis fasilitas produksi obat anti-retroviral kami yakini merupakan strategi yang tepat, mengingat kebutuhan obat-obat anti-retroviral khususnya obat HIV/AIDS yang sangat besar dan mendesak," ujarnya.
Penny pun berharap, selain membuktikan adanya iklim investasi yang positif di Indonesia, dengan dibangunnya PT SRI juga menjadi sarana terjadinya transfer teknologi, penyerapan tenaga kerja lokal, dan untuk memenuhi kebutuhan obat yang memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu, sehingga menciptakan kemandirian produksi obat di Indonesia.
“Produk yang dihasilkan, diharapkan tidak hanya mampu menyuplai kebutuhan pasar dalam negeri sejalan dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tetapi juga mampu menembus pasar global, sehingga dapat meningkatkan devisa negara,” katanya.