Mendengar desakan publik yang menginginkan penurunan harga BBM pun ditanggapi Pertamina. Pekan lalu, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati blak-blakan kepada awak media terkait kemungkinan penyesuaian harga BBM.
Nicke menjelaskan duduk perkara sulitnya menurunkan harga BBM di tengah kondisi harga minyak dunia yang tertekan dan melemahnya kurs mata uang Garuda terhadap dolar Amerika Serikat.
Mantan direksi PT Rekayasa Industri ini mengatakan terjadi adanya anomali dalam formula harga BBM terutama terkait MOPS yang lebih murah daripada harga crude.
"Makanya kalau kita mau mudahnya saja, kami beli saja [impor] produk BBM dan tutup semua kilang. Tapi nanti mati semua kan, para KKKS nanti produksinya gimana, nutup hulu kan perlu biaya, reaktivasi juga," katanya.
Selain itu, Pertamina juga mengungkapkan bahwa penjualan BBM di kota-kota besar turun hingga 50 persen. Saat ini, Pertamina sebagai penguasa pasar sebesar 98,17 persen atau 24,56 juta kiloliter (KL) pada tahun lalu.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, penjualan BBM di Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar turun merujuk rata-rata penjualan April dibandingkan dengan rata-rata harian normal Januari dan Februari.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Nicke mengungkapkan dari sisi Pertamina, penyesuaian harga akan sangat mudah jika pihaknya berperan sebagai trading company.
“Memang mudah sekali ketika harga BBM yang kita beli murah, maka kita langsung bisa kita jual,” katanya dalam RDP dengan Komisi VII DPR, Selasa (21/4/2020).
Tidak hanya itu, Nicke pun menyebut harga produksi BBM melalui kilang Pertamina masih kalah murah dibandingkan dengan impor produk. Dia mencontohkan, harga impor BBM senilai US$22,5 per barel sementara harga beli crude Pertamina pada pertengahan Maret lalu senilai US$24 per barel.
“Jadi dalam kondisi ini kan lebih baik kami tutup semua kilang. Tapi faktanya kan kami tidak bisa seperti itu. Jadi antara keputusan bisnis dan keputusan Pertamina sebagai BUMN motor penggerak ekonomi nasional sekarang jadi berbeda. Tapi kami harus cari jalan tengah,” ungkapnya.
Adanya pelemahan pasar BBM ini pun menyebabkan Pertamina berpotensi kehilangan keuntungan hingga 51 persen atau sekitar US$1,12 miliar dari rencana kerja dan anggaran (RKAP) 2020.
Berdasarkan RKAP Pertamina, target laba tahun ini dipatok US$2,2 miliar dan pendapatan mencapai US$58,33 miliar. Nicke mengatakan selain pendapatan tergerus, profi Pertamina bakal tergerus lebih dalam lagi. Pasalnya, ada kerugian selisih kurs yang harus dimasukkan.
“Kami Capex dan Opex menggunakan dolar Amerika Serikat, sementara penerimaan [banyak] menggunakan rupiah,” katanya, Selasa (21/4/2020).
Potensi hilangnya laba Pertamina, mengacu dua skenario yang ditetapkan Pertamina dengan mempertimbangkan ICP dan kurs dolar Amerika Serikat.
Mengacu skenario pertama, pendapatan perseroan berpotensi turun US$ 22,17 miliar menjadi US$ 36,16 miliar. Sementara mengacu skenario kedua, potensi penurunan pendapatan lebih besar yakni mencapai US$ 26,25 miliar atau menjadi US$ 32,08 miliar.
“Untuk skenario sangat berat, maka profit akan berkurang 51 persen. itu dengan asumsi yang sudah ditetapkan pemerintah. Cashflow lebih berat lagi krn kita banyak berikan fasilitas kredit ke pelanggan karena semua pihak kesulitan cashflow,” tambahnya.