Bisnis.com, JAKARTA – Di tengah perang melawan pandemi Covid-19, peran industri pers seakan menjadi adagium manis untuk menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi keempat. Di tengah kepentingan sebagai wadah informasi, aspek finansial menjadi kerikil untuk melangkah.
Padahal, keberhasilan menanggulangi peperangan ditentukan oleh keberhasilan dalam menangani komunikasi. Namun, di lapangan sejumlah industri media sulit untuk fokus menjadi garda terdepan di sektor informasi. Industri ini justru mulai terseok, terhimpit masalah ekonomi.
"Dalam ekosistem kebangsaan dan demokrasi, kalau ada satu mata rantai lemah akan pengaruhi mata rantai lain. Pers sangat strategis dan berperan dalam tugas komunikasi. Jadi kalau mata rantai ini melemah atau putus, maka mata rantai lain tidak akan berfungsi," ungkap jurnalis senior Rikard Bagun dalam diskusi virtual, Kamis (14/5/2020).
Menurutnya, dunia pers sudah berusaha sekeras mungkin untuk melakukan penghematan dengan berbagai macam cara di tengah pandemi Covid-19. Bahkan, selama beberapa tahun terakhir media telah digegoroti habis-habisan oleh datangnya era digital.
Bayang-bayang pemutusan hubungan kerja (PHK) pun menjadi gelombang selanjutnya yang menghantam industri media. Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers Pusat, Januar P Ruswita pun mengungkapkan bahwa keadaan ini menjadi penting dan mendesak pemerintah agar membantu industri media, para wartawan, dan seluruh pekerja media yang terdampak oleh krisis akibat pandemi Covid-19 ini.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Media dan Asosiasi Profesi Media pun mendorong pemerintah untuk menaikkan stimulus di luar stimulus ekonomi Rp405 triliun yang sudah diputuskan pemerintah.
Baca Juga
Menurutnya, urgensi tersebut adalah untuk menyelamatkan daya hidup pers nasional yang sedang menghadapi krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19, asosiasi ini menyampaikan aspirasi sebatas dalam konteks periode pandemi Covid-19.
Pada kesempatan itu, Anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli mengatakan tujuh butir insentif bisnis media semata-mata untuk menyelamatkan pers nasional.
"Bukan semata-mata untuk kepentingan pers tapi publik, karena tanpa informasi kredibel dan teruji lewat proses verifikasi kuat, publik akan tidak punya informasi akurat, dan kita tidak punya alat ukur untuk tentukan arah penyelesaian pandemi," katanya.
Sependapat, Anggota Dewan Pers, Ahmad Djauhar mengatakan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk tetap menghidupkan media nasional.
"Bukan berarti media itu ngemis-ngemis, minta-minta tidak. Tapi pemerintah harus tetap menghidupkan media. Karena memang ini kondisi luar biasa," tegasnya.
Dia pun memberikan contoh bahwa beberapa belahan dunia, kejadian saat ini hampir serupa. Salah sataunya di Amerika Serikat, di mana media mainstream besar juga mengajukan permintaan ke pemerintah untuk membantu menghidupkan pers. Dia menegaskan bahwa status uang negara memang berfungsi untuk menghidupkan apa yang selama ini membantu negara.
Di lain pihak, Abdul Manan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengatakan bahwa terdapat dampak dari minimnya pendapatan yang mana membuat industri perlu melakukan efisiensi dengan terpaksa. Tak hanya pemotongan gaji, langkah terberat juga harus diambil, yaitu pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sekretaris Jenderal Serikat Penerbit Pers (SPS) Pusat Asmono Wikan pun mengamini bahwa krisis Covid-19 ini memberikan ancaman PHK yang sangat nyata.
"Sudah hampir separuh sudah dan sedang merencanakan PHK. Sebanyak 70 persen anggota sudah tidak mampu melihat jalan terang di balik pandemi. Ini persoalan besar. Mereka menganggap tidak ada lagi ruang untuk berkreasi, tidak ada peluang di balik krisis," jelasnya.
Kini, pilihan kembali kepada pemerintah, media dan pers akan tetap bergerak baik ada atau tidaknya insentif ke depan. Namun, jangan bertanya bila suara untuk memberikan informasi ini meredup atau mungkin hilang terbawa arus krisis pandemic Covid-19.