Bisnis.com, JAKARTA - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan bencana alam yang ekstrim dapat mengancam kelangsungan sektor pertanian di dalam negeri, khususnya produksi pangan. Karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan potensi bencana yang rawan menimpa Indonesia ketika merumuskan kebijakan pertanian nasional, termasuk dalam menyiapkan asuransi pertanian.
Menurut Peneliti CIPS Galuh Octania, petani di Indonesia dihadapkan pada risiko ketidakpastian produksi akibat gagal panen. Kemudian yang tidak kalah memprihatinkan adalah terkadang para petani tersebut jugalah yang harus menanggung sendiri beban kerugian yang dialami.
"Tercatat total lahan usaha tani yang terdampak banjir dan kekeringan hampir mencapai 1 juta hektar di periode tahun 2003 hingga 2008. Petani Indonesia pun secara umum selalu memiliki dua masalah utama, yaitu mereka tidak mempunyai modal untuk memulai bercocok tanam atau mereka tidak mempunyai perlindungan efektif jika mereka mengalami kerugian akibat gagal panen," katanya melalui siaran pers yang diterima oleh Bisnis, pada Jumat (21/8/2020).
Lebih lanjut, Galuh menyebut upaya untuk untuk memitigasi bencana alam yang dapat menghambat produktivitas pertanian di Indonesia tentu tidak akan cukup apabila hanya mengandalkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) saja.
Menurutnya, saat BNPB bekerja untuk mencegah, memitigasi, dan menanggulangi bencana dalam skala luas dan nasional, Kementerian Pertanian juga harus memainkan perannya untuk melindungi petani dari potensi kerusakan bencana alam lewat program asuransi pertanian.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, maka asuransi pertanian pun diperkenalkan. Disusul dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40 Tahun 2015 yang lebih mengatur implementasi asuransi pertanian di Indonesia, maka di tahun 2015, program ini mulai dijalankan di Indonesia.
Baca Juga
Selain Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan yang berperan sebagai aktor utama asuransi ini, Kementan juga menggandeng PT. Jasa Asuransi Indonesia sebagai penanggung dari program asuransi tersebut. Asuransi Pertanian ini salah satunya mengatur terkait lahan padi lewat Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) di mana AUTP menyediakan perlindungan bagi kegagalan panen akibat banjir, kekeringan, dan organisme pengganggu tanaman.
Sebelumnya, pilot projects sempat dilaksanakan pada tahun 2012-2015 di lokasi yang tersebar di tiga provinsi, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. AUTP memberikan kompensasi maksimal sebesar Rp6 juta/hektar kepada setiap petani per musim tanam. Total premi sebesar Rp180.000 dibayarkan 80% oleh subsidi pemerintah sebesar Rp144.000 dan sisanya 20% dibayarkan oleh petani sebesar Rp36.000 per hektar per musim tanam.
”Akan tetapi, tidak semua petani dapat mengikuti asuransi ini. Petani pendaftar haruslah mereka yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Selain itu, kriteria petani lain untuk menjadi calon tertanggung AUTP adalah para petani penggarap yang memiliki atau tidak memiliki lahan usahatani dan menggarap paling luas 2 hektar lahan saja," katanya.
Selain itu, kekurangan lainnya yakni lahan sawah yang terlindungi oleh asuransi tidak banyak, yaitu lahan sawah irigasi, lahan pasang surut/lebak, dan lahan tadah hujan yang kesemuanya memiliki sumber air yang baik.
"Petani juga harus melewati serangkaian proses untuk dapat mendaftar dan mengajukan klaim asuransi nantinya. Semua proses ini tidak lepas dari peranan Dinas Pertanian setiap kota dan provinsi juga tentunya perusahaan asuransi,” cetusnya.
Dengan sistem yang sudah disusun tersebut, AUTP pun nyatanya masih mengalami banyak kendala. Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya jumlah lahan yang terdaftar dalam program asuransi. Semenjak, diterapkan pada tahun 2015, AUTP selalu menargetkan 1 (satu) juta hektar lahan untuk terlindungi asuransi.
Namun, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 31 Juli 2019, AUTP belum pernah mencapai targetnya. Yang terdekat dengan target yakni pada 2017 dengan luas lahan 997.960,55 hektar atau 99,80 dari target. Namun, jumlahnya kembali turun pada 2018 ke angka 901.420,56 hektar atau 90,14% dari target.
Galuh menambahkan, kekhawatiran petani pun cukup beralasan, yang mana salah satunya juga disebabkan oleh ketakutan akan lamanya klaim dibayarkan oleh penanggung asuransi.
"Terlepas dari segala kekurangannya, patut dinantikan bagaimana Kementan menggalakan program ini agar dapat jadi pilihan utama petani demi melindungi lahan usaha taninya. Mau tidak mau, dampak perubahan iklim ini sangat nyata adanya dan tidak bisa kita hanya bergantung pada satu pihak saja dalam penanggulangannya. Upaya antisipasi perlu dijalankan supaya dampak dari bencana tersebut dapat diredam seminimal mungkin dan memungkinkan sektor pertanian tetap bisa berjalan."