Bisnis.com, JAKARTA—Pembangunan smelter tembaga PT Freeport Indonesia akhirnya menemui titik terang setelah mengkaji berbagai opsi alternatif setahun terakhir ini. Freeport memutuskan untuk melanjutkan pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur, ketimbang melakukan kerja sama dengan investor asal China, Tsingshan Steel.
Untuk memenuhi kesepakatan divestasi 2018, perusahaan yang mengoperasikan tambang Grasberg di Papua itu berkomitmen untuk membangun smelter tembaga baru dengan kapasitas 2 juta metrik ton konsentrat per tahun yang ditargetkan selesai Desember 2023.
Namun, pembangunan smelter yang telah direncanakan di kawasan Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE), Gresik, tersebut sempat terhambat akibat pandemi Covid-19.
Karena alasan itu juga lah Freeport mengajukan penundaan pembangunan selama 12 bulan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di April 2020.
Di tengah usulan penundaan tersebut, sempat muncul opsi alternatif bahwa pembangunan smelter akan dilakukan di Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara, melalui kerja sama dengan Tsingshan. Dalam opsi kerja sama ini, sebagian besar biaya investasi pembangunan smelter rencananya akan ditanggung oleh investor dari China itu.
Vice President Corporate Communication Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan bahwa rencana kerja sama dengan Tsingshan terhenti karena tidak mencapai kesepakatan.
“Ada term dengan Tsingshan yang tidak ketemu deal-nya. Lebih baik bangun sendiri di Gresik,” kata Riza kepada Bisnis, belum lama ini.
Selain itu, kata Riza, pasokan listrik dan penanganan limbah juga menjadi pertimbangan Freeport saat memutuskan untuk membangun smelter di JIIPE.
“Lebih baik bangun di JIIPE karena kami sudah punya lokasi smelter pertama di Gresik. Fasilitasnya lebih baik, dari listriknya dan untuk penanganan waste-nya juga lebih baik,” ujarnya.
Konstruksi smelter baru Freeport direncanakan segera dimulai sekitar September atau Oktober 2021.
Freeport-McMoRan Inc. (FCX), salah satu pemegang saham Freeport Indonesia, melalui laporan kinerjanya pada kuartal II/2021, memerinci rencana pembangunan smelter di Gresik akan dilanjutkan dengan dua cara.
Pertama, ekspansi kapasitas fasilitas smelter tembaga yang sudah ada di Gresik hingga 300.000 metrik ton konsentrat atau 30 persen dari kapasitas saat ini.
Freeport sebelumnya telah membangun fasilitas smelter tembaga di Gresik yang kini dikelola oleh PT Smelting. Kapasitas inputnya saat ini mencapai sekitar 1 juta ton konsentrat tembaga per tahun.
Saat ini, Freeport tengah menjalin kesepakatan dengan pemilik saham mayoritas PT Smelting untuk merealisasikan rencana ekspansi dengan target penyelesaian di akhir 2023.
Estimasi biayanya diperkirakan mencapai US$250 juta dan akan didanai oleh Freeport, sehingga akan meningkatkan kepemilikan sahamnya di PT Smelting yang saat ini sebesar 39,5 persen, menjadi saham mayoritas.
Kedua, dengan adanya ekspansi smelter PT Smelting, kapasitas smelter baru di Gresik diturunkan dari 2 juta metrik ton menjadi 1,7 juta metrik ton konsentrat per tahun.
KERJA SAMA EPC
Pada 15 Juli 2021, Freeport dan PT Chiyoda International Indonesia menandatangani kontrak kerja sama kegiatan engineering, procurement, dan construction (EPC) untuk smelter baru tersebut dengan perkiraan biaya US$2,8 miliar.
Selain itu, Freeport juga membangun fasilitas precious metal refinery (PMR) untuk mengolah lumpur dari PT Smelting dan smelter baru di Gresik dengan perkiraan biaya mencapai US$250 juta.
FCX memperkirakan konstruksi smelter selesai paling cepat pada 2024, tergantung situasi pandemi Covid-19.
“Pemerintah [Indonesia] memahami situasi dalam hal Covid-19, proyek kami tertunda selama 12—15 bulan terakhir. Dan situasi saat ini kami pantau dengan sangat cermat, tetapi kami terus menginformasikan secara teratur kepada pemerintah terkait timeline proyek. Dan komitmen kami dengan Chiyoda adalah menyelesaikan ini secepat mungkin, tetapi juga mengidentifikasi hal-hal tertentu akan berada di luar kendali kami, seperti situasi Covid-19 saat ini,” tutur President & Chief Financial Officer (CFO) Freeport-McMoRan Kathleen Quirk dalam conference call kinerja FCX kuartal II/2021, Kamis (22/7/2021) malam waktu setempat.
Kathleen mengatakan, untuk membiayai pembangunan proyek smelter tersebut Freeport baru-baru ini menandatangani fasilitas kredit bank dengan tenor 5 tahun tanpa jaminan senilai US$1 miliar.
Pembiayaan utang tambahan sedang direncanakan dengan biaya semua utang tersebut dibagi 49 persen oleh FCX dan 51 persen oleh PT Inalum (Persero).
Terkait kerja sama Freeport dan Chiyoda, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin turut menyambut baik penandatanganan kontrak antara kedua belah pihak.
“Penandatanganan ini menjadi energi positif di tengah berbagai tantangan yang sedang Indonesia hadapi. Pemerintah melalui Kementerian ESDM mendorong akselerasi dari proyek ini dan akan terus bekerja sama dengan PT Freeport Indonesia untuk membantu memastikan pengerjaan proyek ini dapat diselesaikan tepat waktu,” ujar Ridwan.
Sebelumnya, pembangunan smelter Freeport yang tak kunjung jalan menuai kritik dari sejumlah anggota Komisi VII DPR RI.
Anggota komisi VII fraksi PDIP Nasyirul Falah Amru menilai bahwa realisasi pembangunan smelter Freeport di Gresik, Jawa Timur, yang baru mencapai sekitar 6 persen pada akhir 2020 atau masih jauh dari target dan berpotensi melanggar undang-undang.
Belum lagi, ada rencana kerja sama antara Freeport dengan Tsingshan Steel untuk membangun smelter di Weda Bay sebagai alternatif pemenuhan komitmen pembangunan smelter.
“Kami bisa pahami kalau situasi Covid-19 ini pembangunan terhambat. Akan tetapi, kami dapat informasi kalau ada rencana pemindahan smelter ke Halmahera, kerja sama dengan Tsingshan. Kalau ini dilakukan, maka akan molor jadi 2 tahun, akan sangat lama sekali,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Menteri ESDM, Senin 22 Maret 2021.
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Golkar Ridwan Hisjam menilai bahwa komitmen pembangunan smelter Freeport hanya akal-akalan saja, sebab hingga kini tak kunjung terwujud.
Dia pun mengusulkan agar pemerintah mengambil alih pembangunan smelter, mengingat pemerintah telah mengambil alih saham mayoritas Freeport Indonesia.
“Bikin BUMN hilir. Kalau ini dibebankan ke mereka [Freeport] kita cuma dibohongi terus. Saya mengusulkan cobalah pemerintah yang turun tangan melakukan pembangunan dan semua jadi anggotanya dari anak-anak perusahaan, baik perusahaan BUMN maupun swasta,” ucapnya.