Bisnis.com, JAKARTA- Setelah nyaris seabad memproduksi kebutuhan alas kaki atau sepatu untuk masyarakat, akhirnya PT Sepatu Bata Tbk (BATA) menyetop kegiatan pabrik terakhir di Purwakarta. Namun perusahaan mengungkapkan roda bisnis tetap berjalan dengan model yang berbeda.
BATA didera penurunan produksi dan kerugian selama bertahun-tahun. Dari sisi produksi, pada 2018, Bata bisa mencetak 3,5 juta pasang alas kaki, hingga pada akhirnya menurun sebesar 1,15 juta pasang sepanjang 2023.
Dampaknya, BATA mengalami peningkatan kerugian setiap tahun, terus menurunnya nilai aset, menurunnya ekuitas, serta liabilitas yang terus meningkat. Sementara, penjualan Bata melalui toko-toko yang dimilikinya dalam dua tahun terakhir cenderung mengalami perbaikan.
Menilik laporan keuangan per 31 Desember 2023, BATA membukukan rugi bersih sebesar Rp190,28 miliar. Rugi itu membengkak hampir 80% dibandingkan periode sama 2022 sebesar Rp105,91 miliar.
Salah satu penyebab kerugian lainnya, yakni BATA memiliki utang jangka pendek yang membengkak atau hampir 50% dari total pendapatan perseroan. Liabilitas jangka pendek BATA tercatat sebesar Rp389,56 miliar per akhir 2023, sedangkan liabilitas jangka panjang sebesar Rp64,82 miliar.
Alhasil, total liabilitas tercatat sebesar Rp454,38 miliar, atau naik 12,38% dari posisi akhir Desember 2022 sebesar Rp404,3 miliar. Sementara itu, ekuitas BATA merosot 58,92% menjadi Rp131,35 miliar, dibandingkan akhir 2022 sebesar Rp319,76 miliar.
Baca Juga
Jika dihitung rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) BATA mencapai 345,93%, sedangkan perusahaan yang sehat secara keuangan ditunjukan dengan rasio DER di bawah 100%.
Di sisi lain, setelah memutuskan penutupan pabrik di Purwakarta, BATA mengungkapkan perusahaan tak menutup serratus persen operasi. Manajemen perusahaan memutar haluan, meski tak lagi fokus melakukan produksi.
Manajemen yang diwakili Hatta Tutuko, Ahmad Danial, dan Prima Andhika Irawati ketika bertemu dengan pejabat Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Rabu (8/5/2024).
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki (ITKAK) Adie Rochmanto Pandiangan mengatakan penutupan pabrik berkaitan dengan strategi bisnis yang dilakukan dalam rangka refocusing pada lini penjualannya (store).
"Direksi menyampaikan, dalam rangka efisiensi dan memperhatikan tren pasar yang cepat dan bervariasi, maka PT Sepatu Bata Tbk fokus pada pengembangan produk dan desain yang memenuhi selera pasar," ujar Adie.
Menurut dia, hal ini juga merupakan langkah perusahaan merek sepatu asal Ceko itu menghadapi persaingan industri sepatu di dalam negeri.
Adapun, pabrik di Purwakarta hanya bagian kecil dari keseluruhan bisnis perusahaan, demikian juga dari sisi produksi, masih sangat kecil jika dibandingkan dengan produsen sepatu lainnya. "Karenanya, menurut manajemen, penutupan pabrik Purwakarta merupakan langkah paling realistis," imbuhnya.
Dalam pertemuan tersebut, manajemen PT Sepatu Bata Tbk juga berjanji strategi bisnis ini tetap menjamin produk yang dijual masih bersumber dari produsen dalam negeri yang selama ini bekerja sama dengan mereka, seperti PT Prestasi Ide Jaya dan 6 pabrik lainnya. Strategi ini diharapkan dapat meningkatkan penjualan sekaligus meningkatkan juga produksi di 7 pabrik tersebut.
Sementara itu, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) membeberkan industri alas kaki dalam negeri masih menghadapi tekanan sehingga kinerjanya masih terkontraksi pascapandemi.
Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakrie mengatakan, sejak pandemi hingga saat ini kondisi industri belum pulih normal. Terlebih, tantangan inflasi pangan pada awal tahun ini yang memicu lesunya daya beli konsumen.
"Beberapa brand pada Lebaran kemarin untuk segmen menengah-menengah ke bawah mengalami penurunan dibanding untuk periode yang sama di 2023 lalu. Yang pasti juga berpengaruh pada produsen alas kaki," kata Firman kepada Bisnis.