Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Bagong Suyanto

Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Rupiah Rawan Guncangan

Kinerja ekspor yang positif niscaya akan memberikan peluang lebih besar bagi pasokan valas di pasar domestik.
Uang rupiah pecahan Rp100.000 dan Rp50.000. - Bloomberg/Brent Lewin
Uang rupiah pecahan Rp100.000 dan Rp50.000. - Bloomberg/Brent Lewin

Bisnis.com, JAKARTA - Be­­­­la­­­kangan nilai tukar rupiah cen­­­­derung mem­­­­pri­­­ha­­­tinkan. Namun, fenomena pelemahan rupiah ini diya­­­kini pemerintah hanya me­­­rupakan tren jangka pendek.

Menurut data, nilai tukar rupiah memang sempat me­­­­nyentuh level Rp16.491 per dolar AS. Meskipun demikian, pemerintah opti­­­mis kondisi fundamental ekonomi nasional masih kuat. Inflasi yang hanya 2,8%, pertumbuhan ekonomi 5,1% dan kre­­­dit yang tumbuh 12%, adalah faktor yang diharapkan

Di media massa, kita bisa membaca bahwa Jumat 21 Juni 2024, kurs spot rupiah ditutup di Rp16.450 per dolar AS, turun 0,12% dari hari sebelumnya. Ini kurs rupiah terendah di tahun ini dan yang terburuk sejak 23 Maret 2020—yang waktu itu berada di Rp16.575 per dolar AS. Pelemahan rupiah ini, selain membuat kalangan pengusaha gundah, juga membuat masyarakat resah terhadap masa depan ekonomi Indonesia.

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor RI tercatat tumbuh hampir 3%, sedangkan impor mencatat penurunan 8%—setelah pada April lalu tumbuh hampir 5%. Capaian surplus perdagangan yang membesar itu tentu menjadi sentimen positif bagi rupiah. Jumlah cadangan devisa kita tercatat masih sebesar US$139 miliar.

Kinerja ekspor yang positif niscaya akan memberikan peluang lebih besar bagi pasokan valas di pasar domestik. Meskipun demikian, surplus neraca perdagangan yang berhasil dicapai sesungguhnya tidak menjamin keamanan cadangan devisa kita.

Surplus dagang bukan tidak mungkin akan tergerus bila dolar AS terus menguat, sementara posisi nilai tukar rupiah justru melemah konsekuensi dari berlakunya rezim devisa bebas.

Efek Domino

Bagi Indonesia, depresiasi rupiah hingga ke level Rp16.000 lebih per dolar AS, sudah barang tentu tidak kondusif bagi perkembangan usaha masyarakat. Bagi pelaku usaha di Tanah Air yang banyak tergantung pada bahan baku impor, efek domino dari pelemahan nilai tukar rupiah niscaya akan kontra-produktif.

Ketika nilai dolar AS naik, maka biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan otomatis naik dan tidak affordable, sehingga harga jual produk menjadi tidak kompetitif. Implikasi kenaikan harga produk, bukan hanya membuat daya saing produk itu menjadi berkurang, tetapi juga menyebabkan daya beli masyarakat menjadi turun.

Bagi para konsumen, kenaikan harga dari berbagai produk yang ditawarkan pasar tentu akan berdampak terhadap daya beli masyarakat. Untuk produk yang sama, akibat kenaikan biaya produksi tentu harganya menjadi makin mahal. Ketika penghasilan masyarakat tetap atau bahkan berkurang, tentu konsekuensinya kemampuan atau daya beli masyarakat menjadi berkurang.

Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika gaji masyarakat tetap, sementara harga berbagai produk yang dibutuhkan untuk keperluan sehari-hari harganya naik. Sebagian keluarga mungkin melakukan pengetatan ikat pinggang, tetapi sebagian yang lain mungkin harus menurunkan stadar kehidupannya karena tidak lagi memiliki penghasilan yang sepadan dengan nilai kebutuhan hidup layak.

Saat ini, yang harus ditanggung para pelaku usaha bukan hanya kenaikan biaya produksi untuk pos bahan baku. Berbagai komponen kebutuhan produksi dan pemasaran produk, seperti biaya logistik, transportasi, listrik, dan lain-lain, niscaya juga menjadi beban bagi perusahaan untuk melaksanakan aktivitas produksi.

Tidak mungkin perusahaan mempertahankan daya saing produknya dengan cara melakukan penjualan produk dengan harga yang tidak berubah. Akibat kenaikan biaya produksi, mau tidak mau perusahaan harus menaikkan harga jual produknya. Masalahnya adalah berkaitan dengan daya beli masyarakat yang justru turun.

Berbeda dengan kondisi di mana kesejahteraan masyarakat naik dan penghasilan meningkat seperti masa sebelum pandemi Covid-19. Saat ini, kondisi ekonomi nasional harus diakui sedang tidak baik-baik saja. Akibat kenaikan harga bahan baku dan biaya produksi, banyak perusahaan terpaska harus gulung tikar. Di berbagai daerah, akibat kenaikan biaya produksi ujung-ujungnya akan berdampak kepada risiko penurunan kinerja usaha, penurunan penciptaan lapangan pekerjaan, serta penurunan produksi.

Hingga pertengahan tahun 2024, PHK dilaporkan terjadi di berbagai perusahaan. Banyak perusahaan tidak hanya mengurangi kapasitas produksi, tetapi juga mengurangi jumlah tenaga kerja atau buruh pabrik. Selama 5—6 bulan terakhir dilaporkan sekitar 100.000 lebih pekerja telah menjadi korban PHK.

Warga masyarakat yang kehilangan penghasilan karena menjadi korban PHK ini, bisa dipastikan akan mengalami degradasi daya beli karena statusnya sebagai pengangguran. Efek domino pelemahan rupiah, cepat atau lambat akan menyebar ke berbagai sektor kehidupan, mulai dari kelangsungan dunia usaha, kelangsungan hidup masyarakat dan ujung-ujungnya kesejahteraan masyarakat.

Untuk mencegah agar efek domino pelemahan rupiah terhadap dolar AS tidak makin menjadi-jadi, ada banyak hal yang seharusnya menjadi agenda kerja pemerintah ke depan.

Mencegah penurunan nilai tukar rupiah tidak bisa dilakukan secara segmenter dan instan. Akar masalahnya bukan bagaimana menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, tetapi yang substansial adalah bagaimana mengurangi risiko penurunan nilai tukar rupiah di masa depan.

Pertama, bagaimana mencegah agar impor dari produk dunia usaha itu bisa dikurangi semaksimal mungkin. Banyak kasus mengajarkan bagaimana sektor industri riil di berbagai daerah bertumbangan lantaran banjirnya produk-produk impor, baik yang legal maupun ilegal.

Banjir masuknya produk impor dari China, misalnya adalah salah satu persoalan serius yang dihadapi Indonesia. Kelangsungan industri garmen di Tanah Air, harus diakui kerapkali terpukul aksi pelaku usaha dari China yang menawarkan produk garmen yang lebih murah dan tidak kalah bermutu.

Kedua, bagaimana mendorong dan meningkatkan nilai ekspor, dengan terus-menerus berusaha menambah kandungan lokal bahan ekspor. Bagi pemerintah, kepentingan memacu perkembangan ekspor adalah untuk memperbesar raihan devisa.

Tidak mungkin kenaikan ekspor dapat memberikan manfaat untuk memperbesar raiahan devisa jika kandungan produk masih didominasi bahan baku dari luar negeri. Perusahaan yang melakukan ekspor dari hasil eksplorasi dan produksi bahan baku lokal harus dirangsang perkembangannya melalui berbagai fasilitas dan kemudahan.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19—20 Juni 2024 telah memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 6,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,50% dan suku bunga Lending Facility sebesar 7,00%.

Untuk memastikan agar stabilitas kurs rupiah dapat terjaga, kita sebetulnya tidak bisa semata mengandalkan Bank Indonesia. Di luar upaya yang dikembangkan bank Indonesia, pemerintah diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada impor, bahan baku impor, serta mendorong perkembangan ekspor.

Tanpa didukung kenaikan raihan devisa yang benar-benar berkelanjutan, jangan harap stabilitas kurs rupiah dapat terjaga dengan baik. Memastikan agar rupiah tidak rawan guncangan, yang dibutuhkan adalah dukungan pelaku usaha yang mandiri dan tangguh.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper