Askolani mengatakan, proses pengawasan ekspor hasil sedimentasi di laut tersebut akan dilaksanakan oleh beberapa pihak di antaranya Kemenkeu, Kemendag, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan lainnya.
Dia menyebutkan, pemerintah nantinya akan membentuk tim bersama untuk mengawasi serta memverifikasi ekspor hasil sedimen tersebut. Meski demikian, Askolani tidak memerinci kapan tim tersebut akan dibentuk dan siapa saja anggotanya
"Itu akan diverifikasi oleh banyak unit kementerian untuk memastikan bahwa sedimen yang diambil itu tidak menyalahi ketentuan mengenai spesifikasinya (hasil sedimen laut)," kata Askolani saat ditemui di Kantor Ditjen Bea dan Cukai, Jakarta pada Jumat (20/9/2024).
Adapun, Permendag No. 20/2024 mengatur spesifikasi hasil sedimen laut yang dapat diekspor. Pasir laut dengan spesifikasi pasir alam yang berasal dari pembersihan hasil sedimentasi di laut yang memiliki ukuran butiran D50 kurang dari 0,25 mm atau D50 lebih besar dari 2,0 mm.
Persentase kandungannya yaitu kerang (shells)/CaCO3 lebih dari 15%, Au atau emas lebih dari 0,05 ppm; Ag atau perak lebih besar 0,05 ppm, Platina, Palladium, Rhodium, Rutenium, Iridium, Osmium lebih besar dari 0,05 ppm, kemudian Silika (SiO2) lebih besar 95%, Timah (Sn) lebih dari 50 ppm; Nikel (Ni) lebih dari 35 ppm, atau logam tanah jarang total lebih dari 100 ppm.
Pasir dengan spesifikasi tersebut dapat diekspor dengan catatan selain pasir alam yang termasuk pasir silika dan pasir kuarsa serta pasir alam lainnya.
Baca Juga
"Kalau tim bersama itu nanti sudah bilang oke, baru boleh [diekspor]. Kalau kemudian itu dominan pasir silika, tidak boleh diekspor," jelas Askolani.
Bukan Solusi
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Universitas Trilogi Jakarta Muhamad Karim meminta pemerintah untuk mencabut kebijakan yang mengatur pengelolaan hasil sedimentasi di laut.
“Kebijakan ini bukan solusi mengelola dan mengatasi sedimentasi laut,” kata Karim.
Dia menuturkan, secara oseanografi, sedimentasi laut ada yang bersifat alamiah. Misalnya, terjadi karena bencana alam seperti letusan gunung berapi yang mengalirkan laharnya lewat daerah aliran sungai (DAS) yang bermuara ke laut.
Sedimentasi laut juga dapat terjadi akibat tindakan eksploitasi ekstraktivisme manusia di daerah hulu sungai dan pesisir yang masuk ke perairan laut, seperti penambangan dan sebagainya.
Alih-alih mensejahterakan nelayan, kebijakan ini justru dinilai mensejahterakan oligarki dan korporasi yang akan mendapat izin usaha penambangan pasir laut.
“Tentu bagi saya, kebijakan ini tidak akan mungkin mensejahterakan nelayan,” ujarnya.
Menurutnya, jika negara ingin mengelola sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan demi kesejahteraan rakyat, pemerintah harus mencabut aturan-aturan tersebut.
“Tidak perlu lagi kita mengeluarkan kebijakan yang menimbulkan masalah baru di negeri ini. Karena kita sudah banyak masalah,” pungkasnya.
Pada Mei 2023, pemerintah menerbitkan PP No.26/2023. Melalui aturan ini, pemerintah mengizinkan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut untuk reklamasi dalam negeri pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha.
Pemerintah juga mengizinkan hasil sedimentasi untuk diekspor, sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.