Bisnis.com, JAKARTA — Bunga deposito bank berpeluang belum akan turun setelah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mempertahankan tingkat bunga penjaminan atau TBP, padahal Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate.
Pekan lalu, LPS mengumumkan untuk mempertahankan tingkat bunga penjaminan sebesar 4,25% untuk simpanan rupiah di bank umum, 2,25% untuk simpanan valas, dan 6,75% untuk simpanan rupiah di Bank Perekonomian Rakyat (BPR).
Tingkat bunga penjaminan itu berlaku dari 1 Oktober 2024 hingga 31 Januari 2025, atau selama tiga bulan ke depan.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan bhawa pihaknya secara berkelanjutan memantau tren suku bunga perbankan.
Menurutnya, keputusan tingkat bunga penjaminan per September 2024 muncul dari pertimbangan sejumlah hal, seperti timelag respons penurunan suku bunga simpanan atas kebijakan bunga acuan bank sentral yang masih terbatas, coverage simpanan yang masih memadai (nominal dan rekening) serta memberikan ruang lanjutan perbankan dalam pengelolaan likuiditas suku bunga.
"Maka Tingkat Bunga Penjaminan yang berlaku saat ini dipertahankan tetap," ujar Purbaya pada pekan lalu.
Baca Juga
Menurutnya, efek penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia tidak langsung terasa oleh perbankan. Hal itu mendasari LPS untuk tidak serta merta langsung menurunkan tingkat bunga penjaminan.
Purbaya menyebut bahwa ada jeda waktu sekitar 4 bulan dari kebijakan BI hingga perubahan tersebut benar-benar berdampak pada suku bunga bank. Oleh karena itu, LPS memutuskan untuk tidak langsung mengubah tingkat bunga penjaminan (TBP) meskipun suku bunga acuan turun.
"Dari kebijakan bank sentral ke penurunan yang real di perbankan itu jangka waktunya mendekati 4 bulan delay-nya, jadi kalau kita biarkan TBP berperilaku seperti sekarang, mungkin baru 4 bulan kemudian kita akan melihat arah perubahan pergerakan TBP," ujarnya.
Dia juga menyebut, penentuan tingkat bunga penjaminan oleh LPS tidak hanya didasarkan pada analisis kuantitatif saja, tetapi turut mempertimbangkan faktor kualitatif dan forward looking, serta ditentukan dengan metode yang scientific, di mana salah satu faktor utamanya adalah suku bunga pasar.
Namun demikian, jika LPS menilai bahwa kondisi ekonomi membutuhkan dukungan signifikan, maka Anggota Dewan Komisioner bisa mempertimbangkan untuk menurunkan TBP lebih cepat setelah melakukan diskusi internal.
Lebih lanjut, dalam metodologi LPS, kebijakan penetapan TBP dapat bersifat pasif, di mana tingkat bunga penjaminan ditetapkan sedikit di atas suku bunga pasar. Di sisi lain, kebijakan secara aktif "memimpin" pasar juga dapat dilakukan.
Artinya, jika situasi sektor finansial dan sinyal dari bank sentral mendukung, LPS bisa mengambil inisiatif menurunkan TBP lebih cepat, dengan harapan pasar akan mengikuti langkah tersebut.
"Pernah [menurunkan TBP] 50, 25 bps. Pernah saya turunkan 50 bps karena Covid-19 dan ekonomi perlu dukungan, jadi kita turunkan dengan cepat supaya bunga deposito di bank turun, sehingga lending rate juga tidak naik atau turun itu yang menjaga ekonomi kita selama ini, karena bunga enggak naik," ujarnya.
Arah Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate)
Keputusan BI menurunkan suku bunga acuan rupanya sejalan dengan langkah Federal Reserve (The Fed) yang turut melonggarkan kebijakan moneter di Amerika Serikat. Dari sana, terlihat sinyal pelonggaran akan terus berlanjut hingga akhir tahun.
Chief of Economist Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya menilai bahwa penurunan suku bunga diperlukan untuk mendorong daya beli masyarakat. Meski BI sudah menurun suku bunganya acuan sebanyak 25 bps pada medio September lalu, tetapi deflasi yang menjadi tanda-tanda penurunan daya beli masyarakat tetap terjadi.
Seperti diketahui, Indonesia mengalami deflasi lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024. Kondisi itu menjadi catatan deflasi beruntun terburuk sejak 1999, saat perekonomian terdampak oleh krisis finansial Asia 1998—atau yang familiar disebut krisis moneter (krismon).
"Saya kira ada ruang sampai 50—75 bps lagi tahun ini, at least memberi angin segar untuk mendorong daya beli," ujar Banjaran kepada Bisnis, Selasa (1/10/2024).
Banjaran meyakini kebijakan suku bunga oleh BI akan diutamakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, Banjaran melihat penurunan suku bunga sangat mungkin kembali terjadi hingga akhir 2024.
"Semakin agresif, harapannya pembiayaan naik makin deras," jelasnya.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa likuiditas yang memadai serta efisiensi perbankan dalam pembentukan harga yang semakin baik, antara lain didorong oleh publikasi asesmen transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK), berdampak positif pada suku bunga perbankan yang tetap terjaga.
"Suku bunga deposito 1 bulan dan suku bunga kredit pada Agustus 2024 tercatat masing-masing sebesar 4,73% dan 9,21%, stabil dibandingkan dengan level bulan sebelumnya," ujar Perry dalam konferensi pers RDG Bulanan, Rabu (18/9/2024).
Menurutnya, likuiditas perbankan yang memadai ini sejalan dengan implementasi bauran kebijakan Bank Indonesia, termasuk Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM).
Sinyal Kebijakan Moneter The Fed
Ketua Dewan Gubernur The Fed Jerome Powell menegaskan bahwa bank sentral Amerika Serikat tidak akan terburu-buru menurunkan suku bunga acuannya.
Powell menuturkan, pihaknya akan menurunkan suku bunga acuan seiring waktu dan menekankan kembali bahwa ekonomi AS secara keseluruhan tetap kokoh.
Powell juga menegaskan kembali keyakinannya bahwa inflasi akan terus bergerak menuju target 2% The Fed, seraya menambahkan kondisi ekonomi akan menjadi faktor yang mempersiapkan pelonggaran tekanan harga lebih lanjut.
"Ke depannya, jika ekonomi berkembang secara luas seperti yang diharapkan, kebijakan akan bergerak seiring waktu menuju sikap yang lebih netral," kata Powell dalam pidatonya di Nashville pada pertemuan tahunan National Association for Business Economics, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (1/10/2024).
Tetapi, Powell menyebut perekonomian Negeri Paman Sam kini tidak berada pada jalur yang telah ditetapkan sebelumnya. Powell juga mengatakan para pejabat The Fed akan terus membuat keputusan dari pertemuan ke pertemuan berdasarkan data ekonomi yang masuk.
Kebijakan netral adalah kebijakan yang tidak merangsang atau menahan perekonomian. Suku bunga acuan The Fed saat ini, yang diturunkan pejabat ke kisaran 4,75%—5% awal bulan ini, secara luas dianggap masih membatasi aktivitas ekonomi.
Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana para pembuat kebijakan akan menyikapi besaran dan kecepatan pemotongan suku bunga dalam beberapa bulan mendatang, yang merupakan masalah penting bagi para investor.
Dalam sesi tanya jawab setelah pidatonya, Powell mengakui proyeksi yang dikeluarkan oleh para pejabat bersamaan dengan keputusan suku bunga mereka pada September mengarah pada pemotongan suku bunga seperempat poin atau 25 basis poin pada dua pertemuan berikutnya, pada November dan Desember.
Namun, dia memperingatkan bahwa Komite Pasar Terbuka Federal atau Federal Open Market Committee (FOMC) akan membuat keputusannya berdasarkan pada sebagian informasi yang belum mereka terima.
"Ini bukan komite yang merasa terburu-buru untuk memangkas suku bunga dengan cepat. Pada akhirnya, kami akan dipandu oleh data yang masuk. Dan jika ekonomi melambat lebih dari yang kami harapkan, maka kami dapat memangkas lebih cepat. Jika melambat lebih lambat dari yang kami harapkan, maka kami dapat memangkas lebih cepat," jelas Powell. (Lorenzo Anugrah Mahardhika)