Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengungkap bahwa ekspor kelapa Indonesia masih kalah dengan Filipina. Padahal, Indonesia memiliki lahan lokasi yang lebih luas dibandingkan Negeri Lumbung Padi.
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan bahwa kelapa memiliki potensi yang besar. Dia pun menyebut Indonesia merupakan negara produsen kelapa.
“Dulu [Indonesia] pernah menjadi produsen pertama terbesar di dunia untuk kelapa. Tetapi kemudian sekarang kita menjadi kedua terbesar, kalah dari Filipina. Padahal, lokasi Indonesia lebih luas daripada Filipina,” kata Amalia dalam Seminar Nasional bertajuk ‘Urgensi Industrialisasi Untuk Mencapai Pertumbuhan 8%’ di Jakarta, Rabu (16/10/2024).
Bukan hanya itu, Amalia juga menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis yang berada di garis khatulistiwa. Kondisi ini berbeda dengan Filipina.
Berkaca dari sana, dia menilai bahwa semestinya Indonesia lebih potensial dalam mengelola dan mendorong kelapa dibandingkan negara lain.
“Kelapa ini harus kita dorong, karena 98% kenapa produktivitasnya rendah, karena masih dikelola secara konvensional dan 98% kelapa ini dikelola oleh perkebunan rakyat atau smallholder. Belum ada perkebunan kelapa yang dikelola secara masif,” ungkapnya.
Baca Juga
Terlebih, Amalia menyampaikan bahwa permintaan untuk kelapa sangatlah tinggi dan merupakan ekspor buah-buahan nomor satu. Namun sayangnya, ekspor kelapa yang dilakukan Indonesia hanyalah butiran kelapa, bukan produk nilai tambah yang dikelola.
Pasalnya, Amalia menjelaskan bahwa olahan kelapa juga sangat bermanfaat bagi kesehatan untuk dijadikan lemak trigliserida rantai menengah atau medium chain triglyceride (MCT). Faktanya, ungkap dia, keberadaan MCT ini memiliki harga yang sangat mahal di Eropa.
Sebagai gambaran, MCT menghasilkan energi dua kali lebih besar dibandingkan jumlah energi yang dihasilkan glukosa, sehingga MCT cocok digunakan sebagai formula penurun lemak dan pengurai kalori. Demikian yang dikutip dari Dehealth Supplies, Rabu (16/10/2024).
Berdasarkan pengamatannya, salah satu pabrik di Jerman mengalami kesulitan untuk mencari bahan baku penghasil MCT dna menggantinya dengan sawit. Padahal, sambung dia, kelapa lebih potensial untuk menghasilkan MCT dengan harga yang luar biasa.
“Kenapa enggak kita menghasilkan MCT di sini? Kenapa kita harus ekspor butiran kelapa? Kenapa kita hanya mengekspor nata de coco saja, daripada ekspor butiran kelapa? Nah ini PR-PR kita, itulah salah satu hilirisasi,” tandasnya.