Bisnis.com, JAKARTA — Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengungkap alasan di balik tuntutan kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2025 sebesar 8–10%.
Presiden KSPI dan Partai Buruh Said Iqbal mengatakan bahwa dalam lima tahun terakhir, buruh merasa dirugikan lantaran tidak adanya kenaikan upah yang signifikan.
Menurutnya, kondisi upah yang diterima buruh berbeda dengan pegawai negeri sipil (PNS) dan TNI/Polri yang mendapatkan kenaikan upah yang layak, yakni sebesar 8% per 1 Januari 2024.
“Buruh dalam 5 tahun itu nombok, tidak naik upah. Pegawai negeri saja sudah naik. PNS, TNI, Polri [upah naik] 8%, kita setuju. Tapi kenapa buruh swasta nombok 1,3%?” kata Iqbal di area Patung Kuda, Jakarta, Kamis (24/10/2024).
Iqbal menjelaskan bahwa dalam lima tahun terakhir, upah buruh tidak mengalami kenaikan. Pada tiga tahun pertama, kata dia, upah buruh naik 0% alias tidak naik, sedangkan harga barang mengalami kenaikan sebsar 3%.
Lalu, dua tahun berikutnya, upah buruh hanya naik 1,58%. Padahal, lanjut Iqbal, tingkat inflasi berada di angka 2,8%. “Jadi upah itu tidak naik, nombok 2,8% naik barang, naik upah 1,58%, nombok berarti 1,3%,” tuturnya.
Baca Juga
Iqbal pun menyinggung penurunan harga barang dan jasa alias deflasi yang terjadi lima bulan beruntun. Menurutnya, ini akibat upah yang diberikan tidak layak.
“Maka deflasi, uang beredar berkurang. Di kelas bawah, kayak kita, jurnalis, buruh, karyawan, pekerja, dia tidak naik gaji 3 tahun, 0%. 2 tahun, nombok gajinya 1,3%, maka uangnya kurang untuk beli barang,” terangnya.
Lebih lanjut, dia juga tidak sepakat dengan pemerintah dan pengusaha yang menilai kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, indeks tertentunya 0,1–0,3, dengan batas bawah dan batas atas.
Sebelumnya, ekonom memperkirakan pemerintah hanya akan mengerek UMP 2025 di kisaran 2,7%—3,8%, atau dengan rata-rata single digit atau sekitar 3,1%.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memprediksi pemerintah masih akan menggunakan formula yang sama untuk menghitung UMP 2025 seperti tahun sebelumnya, berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan koefisien kontribusi tenaga kerja.
Josua memperkirakan ada beberapa daerah tertentu yang kemungkinan mengalami kenaikan UMP yang lebih tinggi, tergantung pada faktor-faktor lokal seperti tingkat inflasi regional, pertumbuhan ekonomi, dan kontribusi tenaga kerja.
Sederet daerah yang berpotensi mengalami kenaikan UMP lebih tinggi di antaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta, yang diperkirakan memiliki pertumbuhan UMP antara 3,3%—3,7%.
Kemudian, wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara juga diperkirakan mengalami kenaikan yang lebih tinggi antara 5,7%—5,9%. Kenaikan UMP 2025 di wilayah ini didorong oleh pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) yang solid.
Selain itu, Josua juga memperkirakan Maluku dan Papua berpotensi mengalami kenaikan UMP. Di mana, pertumbuhan UMP dapat mencapai 5,3%—7,8% karena pertumbuhan PDRB di daerah tersebut.
Dia menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi kenaikan UMP ini termasuk pertumbuhan ekonomi regional, inflasi, serta tingkat pengangguran dan komposisi tenaga kerja formal di setiap daerah.