Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% ramai-ramai dikecam industri manufaktur. Tak sedikit pelaku usaha yang meminta pemerintah untuk menunda kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang akan berlaku mulai tahun depan.
Ketua Umum Asosasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan mengatakan, kenaikan PPN menjadi 12% makin melemahkan daya beli masyarakat terhadap pembelian rumah maupun kendaraan bermotor yang merupakan sektor terbesar yang menyerap produk kaca lembaran.
"Teman-teman asosiasi sudah menyuarakan untuk penundaan kenaikan PPN tersebut sampai daya beli masyarakat sudah siap," kata Yustinus kepada Bisnis, Rabu (20/11/2024).
Hingga saat ini, pihaknya belum mempersiapkan antisipasi dari dampak pelemahan daya beli tersebut. Namun, pelaku usaha mulai berhati-hati dalam mempersiapkan rencana kerja dan bersiap untuk menurunkan produksi sementara waktu sambil mengamati perkembangan daya beli.
Adapun, untuk saat ini industri kaca nasional memiliki total kapasitas produksi sebesar 1,23 juta ton per tahun. Sementara itu, utilitas produksi industri tersebut berfluktuasi dikisaran 85%-90%.
"Kami mengusulkan untuk penguatan industri manufaktur sebagai fondasi ekonomi negara, salah satunya adalah dengan melanjutkan kebijakan harga gas bumi tertentu [HGBT] karena energi yang digunakan untuk nilai tambah adalah komponen awal mula daya saing dari industri manufaktur," tuturnya.
Baca Juga
Di sisi lain, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) meminta pemerintah untuk menunda kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% tahun depan yang dinilai dapat membebani industri dan konsumen, yang berdampak pada penurunan permintaan.
Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakrie mengatakan, pihaknya melihat kenaikan PPN tahun depan belum tepat dilakukan di tengah kondisi ekonomi yang belum cukup stabil, utamanya terkait daya beli masyarakat.
"Kami rasanya juga minta supaya ditunda dulu," kata Firman kepada Bisnis, dibuhungi terpisah.
PPN dikenakan kepada industri berupa pajak masukan ketika membeli bahan baku untuk produksi sehingga kenaikan pajak juga dapat menambah beban produksi. Di sisi lain, terdapat ada pajak keluaran produk dari pabrik yang harus dipungut oleh peritel.
"Jadi ujung-ujungnya akan berdampak pada konsumsi produk-produk alas kaki yang juga berdampak pada pelaku usaha. Yang lebih mengkhawatirkan pasti pada permintaan, ya," tuturnya.
Senada, Direktur Pengembangan Bisnis Indonesia Packaging Federation (IPF) Ariana Susanti mengatakan, kebijakan tersebut akan menggerus konsumsi masyarakat lantaran harga barang yang makin mahal.
“Beberapa asosiasi telah melakukan protes untuk kebijakan ini, termasuk IPF karena saatnya sangat kurang tepat,” ujar Ariana saat dihubungi Bisnis.
Terlebih, menurut perhitungan Ariana, penerimaan negara dari hasil kenaikan PPN 12% tidak terlalu besar hanya di kisaran Rp60 triliun – Rp80 triliun, sementara dampak terhadap perdagangan dalam negeri sangat luas.
Sebelumnya, pelaku industri permesinan menentang rencana pemerintah untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada 2025. Alasannya, daya saing produk mesin lokal akan tergerus dengan mesin impor.
Ketua Umum Gabungan Industri Pengerjaan Logam, dan Mesin (Gamma) Dadang Asikin mengatakan, PPN mesti dibayarkan perusahaan yang membeli barang input produksi dalam negeri, sedangkan impor mesin dikenakan bebas bea masuk.
"Dengan PPN 11% saja untuk industri permesinan dan barang modal mendapat tantangan yang besar lewat kebijakan bebas bea masuk untuk sejumlah barang modal," kata Dadang.
Beban pada komponen biaya input ini hampir dipastikan akan meningkatkan harga akhir produk manufaktur. Terlebih, dia menyoroti sejumlah sektor yang dikecualikan dalam pengenaan tarif pajak tersebut.
"Saya melihat kok pemerintah agak gegabah dalam melakukan segregasi pengecualian sektor jasa dan barang yang tidak terkena kenaikan PPN 12%, di antaranya mamin [makanan dan minuman], jasa kesehatan dan lainnya, seolah-olah sektor tersebut bisa independen," tuturnya.