Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkapkan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal seiring dengan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% secara bersamaan.
Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan efek dari kenaikan UMP hingga PPN 12% akan memicu lonjakan PHK. Namun, PHK ini akan berbeda dari setiap sektor.
“Semuanya bisa saja [PHK besar-besaran]. Namun balik lagi, akan berbeda setiap sektor. Jadi ini kita harus melihatnya nggak bisa digeneralisasi,” kata Arsjad saat ditemui seusai konferensi pers White Paper Usulan Strategi/Arah Pembangunan Bidang Ekonomi Tahun 2024-2029 di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (26/11/2024).
Arsjad juga memandang, kenaikan PPN 12% dan kenaikan UMP 2025 secara bersamaan akan memberatkan pengusaha. Namun kembali lagi, kata dia, tidak bisa digeneralisasi terhadap semua pengusaha.
Apalagi, dia menyoroti industri padat karya yang akan menanggung beban paling berat dengan adanya kenaikan UMP dan PPN 12%.
Namun, Arsjad tak bisa mengelak pekerja dan buruh membutuhkan kenaikan UMP 2025.
Baca Juga
“Tapi bagaimanapun, kita tahu di sisi pekerja dan buruh membutuhkan [kenaikan UMP 2025]. Ini kan mencari ekuilibrium lagi. Nah ini yang harus kita cari,” terangnya.
Untuk itu, Arsjad menyebut bahwa pengusaha dan pekerja harus bicara dan saling terbuka. “Mulainya kepercayaan, trust. Kalau enggak, susah,” imbuhnya.
Adapun, Arsjad juga memandang kenaikan UMP harus dilihat secara segmented. “Waktu bicara mengenai hal ini, kita harus melihat kembali apakah yang cocok untuk keadaan situasi kondisi yang sudah berubah. Bahkan padat karya itu berbeda-beda setiap sektor, misalkan antara tekstil dengan rokok. Bisa beda lho. Nah ini yang harus kita lihat,” tandasnya.
Sebelumnya, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia (UI) Payaman Simanjuntak memandang kenaikan tarif PPN 12% akan berdampak luas ke perekonomian, termasuk berpotensi memicu badai PHK.
Payaman menyampaikan penerapan tarif PPN sebesar 12% yang berlaku awal 2025 utamanya akan dirasakan oleh kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah. Bahkan, daya beli masyarakat diprediksi akan turun imbas kebijakan ini.
“Permintaan akan barang konsumsi bisa menurun drastis dan dunia usaha menghadapi kesulitan pemasaran. Dampak lebih lanjut perusahaan terpaksa mengurangi produksi dan malakukan PHK,” ujar Payaman kepada Bisnis, Minggu (17/11/2024).
Selain itu, Payaman juga tak memungkiri para buruh melakukan unjuk rasa atau aksi demo terhadap kebijakan yang ditetapkan pemerintah. “Buruh bisa saja melakukan demo, tetapi demo bukanlah solusi,” imbuhnya.
Seiring dengan kenaikan tarif PPN 12% pada 2025, menurut Payaman, dunia usaha dan pekerja harus meningkatkan produktivitas agar perusahaan bisa menjual barang atau produk dengan harga yang lebih murah.