Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Energi Nasional (DEN) mengatakan pengembangan bahan bakar nabati jenis bioetanol menjadi jurus jitu bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM).
Adapun, bioetanol merupakan bahan bakar alternatif dari nabati seperti tebu, singkong atau jagung yang dapat dicampur dengan bensin dalam kendaraan bermotor pada konsentrasi hingga 10%.
Anggota Dewan Energi Nasional, Agus Pramono mengatakan, sejauh ini Indonesia masih ketergantungan impor BBM dalam jumlah besar, yang tentu saja menyebabkan triliunan devisa negara melayang.
“Kita impor BBM itu masih besar, 58% dari kebutuhan nasional. Nilainya itu kira-kira sekitar 98 juta liter per hari,” ujarnya dalam diskusi program Factory Hub di kanal YouTube Bisniscom, dikutip Minggu (1/12/2024).
Lebih lanjut dia mengatakan, dengan pengembangan bahan bakar nabati jenis bioetanol, maka akan mampu mengurangi ketergantungan impor dan menimbulkan efek sirkuler ekonomi bagi ekosistem bioetanol.
“Artinya, kalau bisa segera bioetanol ini jalan, misalnya sehari produksi 500.000 sampai 1 juta liter, bisa meningkatkan devisa, dan ada perputaran sirkuler ekonomi di industri bioetanol, seperti kesejahteraan petani tebu dan lain-lain,” jelasnya.
Baca Juga
Sejauh ini, di Indonesia, implementasi penggunaan campuran bioetanol 5% pada bensin, yang dikenal dengan istilah E5, ini secara bertahap akan ditingkatkan menjadi 10% pada 2029.
Meskipun demikian, progres pengembangan bioetanol itu tergolong lambat, sebab jika mengacu Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015, seharusnya Indonesia sudah menggunakan campuran etanol sebesar 20% pada 2025.
Agus mengatakan, pengembangan bioetanol di Indonesia pun masih menghadapi sejumlah tantangan. Misalnya, dari 13 pabrik bioetanol, hanya 5 yang mampu memproduksi dalam kategori fuel grade, sedangkan sisanya adalah food grade.
Kendala lainnya dalam pengembangan bioetanol yaitu harga dan cukai yang hingga saat ini masih diterapkan pada etanol, yang merupakan bahan baku bioetanol, sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 160/2023.
Terlepas dari tantangan tersebut, Agus optimistis industri bioetanol di Indonesia akan berkembang, sejalan dengan dua misi besar Presiden Prabowo Subianto, yakni swasembada energi dan pangan.
“Kami optimistis karena ini dukungan langsung dari kepala negara, dan para menteri juga pasti diarahkan seperti itu. Sehingga tidak ada kata tidak, kita mesti menjalankan. Karena sumber daya alamnya ada, sumber daya manusianya ada, pasarnya ada,” pungkas Agus.
Berdasarkan catatan Bisnis, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa devisa negara harus tergerus hingga Rp450 triliun untuk mengimpor minyak dan LPG.
Bahlil menuturkan, Indonesia saat ini masih melakukan impor minyak mentah sebanyak 1 juta barel per hari (bph) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini lantaran produksi minyak dalam negeri baru mencapai 600.000 barel per hari, sedangkan kebutuhan minyak menyentuh angka 1,6 juta barel.
Alhasil, akselerasi pengembangan bioetanol dianggap mampu menekan angka impor terhadap BBM di masa mendatang.