Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

ESDM Kebut Proyek Bioetanol di Merauke, Beroperasi Mulai 2027

Kementerian ESDM mempercepat pembangunan pabrik bioetanol di Merauke, Papua Selatan untuk mendukung ketahanan energi nasional.
Pertamax Green 95, bbm campuran bioetanol 5 persen, mulai dijual di sejumlah SPBU di Jakarta dan Surabaya/Bisnis-Nyoman Ary Wahyudi
Pertamax Green 95, bbm campuran bioetanol 5 persen, mulai dijual di sejumlah SPBU di Jakarta dan Surabaya/Bisnis-Nyoman Ary Wahyudi

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai mempercepat pembangunan pabrik bioetanol di Merauke, Papua Selatan. Pabrik itu pun ditargetkan beroperasi mulai 2027. 

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan, proyek yang bersinggungan dengan food estate tebu itu disiapkan untuk ketahanan energi nasional. Pasalnya, pengembangan ekosistem industri bioetanol bisa menjadi alternatif bahan bakar minyak (BBM).

"Kami akan ada percepatan pembangunan, itu khususnya di Merauke, Papua Selatan. Jadi, kami harapkan tahun 2027 sudah akan berproduksi bioetanol yang ada di Merauke, Papua Selatan. Jadi, ini kita lagi konsolidasikan," ucap Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (8/8/2025).

Dalam kesempatan terpisah, Yuliot menuturkan bahwa pada proyek tersebut akan terdapat tiga unit fasilitas produksi bahan baku bioetanol dengan kapasitas masing-masing sebesar 300.000 kiloliter per tahun.

Berdasarkan catatan Bisnis, pemerintah menyiapkan 2 juta hektare (ha) lahan tebu untuk program swasembada gula dan bioetanol di Merauke.

Adapun, lahan tersebut terbagi atas tiga klaster. Klaster 1 dan klaster 2 diperkirakan mencapai 1 juta hektare, klaster 3 seluas 504.373 hektare, dan klaster 4 seluas sekitar 400.000 hektare. 

Sementara pada klaster 3, akan dibangun perkebunan tebu yang terintegrasi dengan industri gula dan bioetanol. Proyek ini diperkirakan bakal menelan investasi mencapai US$5,62 miliar atau sekitar Rp83,27 triliun. 

Secara terperinci, dari total investasi tersebut, sebesar Rp29,2 triliun dibutuhkan untuk pembangunan perkebunan tebu dengan teknologi mekanisasi pertanian.

Lalu, Rp53,8 triliun untuk pembangunan lima pabrik gula dan bioetanol, sebesar Rp120 miliar untuk pembangunan Pusat pelatihan sumber daya manusia (SDM), dan Rp150 miliar per tahun untuk pembangunan fasilitas riset dan inovasi.

Mandatory Bioetanol E5 Jalan 2026

Di sisi lain, Kementerian ESDM menargetkan mandatory atau kewajiban penerapan BBM campuran bioetanol 5% atau E5 dilaksanakan pada 2026.

Saat ini, E5 memang sudah mulai dijual dalam bentuk produk Pertamax Green 95. Namun, penggunaan E5 belum bersifat wajib. Untuk itu, Kementerian ESDM bakal mengeluarkan keputusan menteri (kepmen) yang mengatur kewajiban penerapan E5. 

Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan, saat ini kementerian tengah menggodok beleid terkait mandatory E5 tersebut. 

"Iya paling [mandatory E5 diterapkan] 2026, karena 2025 sudah setengah jalan," kata Eniya di Jakarta beberapa waktu lalu.

Kendati demikian, Eniya menyebut, mandatory E5 itu tidak akan langsung mencakup skala nasional. Menurutnya, pada tahap awal akan dilakukan di tingkat regional, yakni Pulau Jawa.  

Dia menjelaskan, hal ini dilakukan lantaran pasokan bioetanol masih terbatas. Dia menyebut saat ini baru ada tiga perusahaan yang mampu memproduksi bioetanol untuk bahan bakar.  

Adapun, jumlah produksinya hanya sekitar 60.000 kiloliter (kl). Padahal, untuk memenuhi mandatory E5 secara nasional bioetanol yang dibutuhkan sekitar 1,2 juta kl.

Di sisi lain, untuk melakukan impor bioetanol biayanya lebih besar. Pasalnya, impor bioetanol untuk bahan bakar masih dikenakan cukai, layaknya etanol untuk industri makanan dan minuman. 

"Kalau bisa dilakukan mandatory, paling regional karena masih sangat sedikit [pasokan bioetanol]. Di situ masih ada PR tadi yang masalah cukai sama yang lainnya untuk menurunkan biayanya," tutur Eniya. 

Dia menambahkan bahwa kelak E5 untuk tahap awal akan digolongkan dalam BBM non-public service obligation (PSO) atau nonsubsidi. Dengan begitu, biaya produksi tinggi yang berimbas pada harga jual ditanggung oleh pembeli.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro