Bisnis.com, JAKARTA — Para pakar menilai penerapan pajak pertambahan nilai atau PPN 12% khusus untuk barang mewah akan membuat bingung karena menambah kompleksitas implementasinya.
Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono menjelaskan jika PPN 12% berlaku khusus untuk barang mewah maka sistem PPN di Indonesia akan beralih dari tarif tunggal menjadi multitarif.
"Pemerintah harus merevisi aturannya di tingkat UU PPN hingga PMK-nya. Selain itu, pemerintah juga perlu menentukan barang apa saja yang tergolong mewah sehingga barang tersebut akan terutang PPN 12% dan PPnBM [pajak penjualan barang mewah]," jelas Prianto, Jumat (6/12/2024).
Konsepnya, sambung Prianto, setiap barang yang terutang PPN belum tentu terutang PPnBM dan setiap barang yang terutang PPnBM pasti terutang PPN.
Pengajar Universitas Indonesia itu menjelaskan porsi penerimaan PPnBM di APBN kecil sehingga penambahan PPN menjadi tidak signifikan. Dia menambahkan, kasus akan berbeda apabila pemerintah memperluas objek PPnBM.
"Satu hal yg tidak dapat dihindari adalah kompleksitas penerapan PPN dengan multitarif. Atas satu jenis kelompok barang yang sama, tarif PPN-nya berbeda," ungkapnya.
Baca Juga
Dia mencontohkan, akan ada kesulitan penerapan tarif PPN untuk kelompok daging yang mencakup daging wagyu. Di satu sisi, barang kebutuhan pokok seperti pangan tidak dikenai PPN namun daging wagyu merupakan barang mewah.
Prianto menegaskan kebijakan yang sering berubah akan meningkatnya kompleksitas. Kompleksitas tersebut, sambungnya, akan memunculkan dua dampak yang bertolak belakang.
Di satu sisi, akan muncul kelompok masyarakat yang bingung dengan perubahan kebijakan tersebut sehingga bener-benar tidak paham. Di sisi lain, akan muncul kelompok masyarakat yang terus mencoba patuh secara kreatif sehingga terus berusaha mencari celah untuk dapat patuh atau bahkan bertindak oportunistik.
"Jadi, perubahan tarif tunggal menjadi multitarif akan berdampak pada masy dan pengusaha sesuai dua perspektif di atas," tutup Prianto.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan satu sistem PPN di Indonesia tidak mengenal multitarif. Oleh sebab itu, jika PPN 12% khusus barang mewah diterapkan maka akan menjadi yang pertama kali dalam sejarah Indonesia.
"Ini tentu membuat bingung semua pihak. Bagi pelaku usaha dan konsumen pusing juga. Apalagi satu toko ritel misalnya jual barang kena PPN dan PPnBM," ucap Bhima, Jumat (6/12/2024).
Dia mencontohkan toko peralatan elektronik yang otomatis faktur pajaknya akan lebih kompleks. Lalu, pelaku usaha ritel diyakini akan memberi harga barang yang lebih mahal ke konsumen.
Oleh sebab itu, Bhima meyakini daya beli kelas menengah akan terancam meski PPN 12% diterapkan khusus barang mewah. Apalagi, sambungnya, ada ancaman inflasi yang mendahului kebijakan pajak.
"Ini momentum Nataru di mana secara seasonal harga barang jasa naik. Jadi pengusaha akan kompensasi ketidakjelasan aturan PPN 12% ke konsumen akhir," katanya.
Bhima menekankan pelaksanaan PPN 12% harus diberlakukan pada 1 Januari 2025 sesuai UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Oleh sebab itu, dia khawatir kejelasan aturan akan mengambang.