Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) mengungkap rencana untuk mengerek pajak pertambahan nilai (PPN) untuk rumah tapak.
Wakil Menteri (Wamen) PKP Fahri Hamzah menjelaskan bahwa upaya menaikkan PPN untuk rumah tapak itu dilakukan guna meningkatkan minat masyarakat tinggal di hunian vertikal.
“Bagaimana caranya supaya orang hidup [di hunian] vertikal? Maka yang vertikal disubsidi lebih banyak supaya murah. Yang landed tentunya akan jadi lebih mahal,” jelasnya saat ditemui di sela-sela agenda International Conference of Infrastructure (ICI), Kamis (12/6/2025).
Pada saat yang sama, Fahri juga menepis kebijakan tersebut bakal membebankan calon konsumen rumah tapak nantinya. Dia bilang, upaya itu dilakukan guna menyiasati minimnya lahan yang tersedia di perkotaan.
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan subsidi silang untuk pemberian insentif atau subsidi bagi konsumen rumah vertikal ke depan.
“Tidak ada mengorbankan rumah tapak. Tapi di kota-kota besar, tanah mahal, rumah tapak pasti mahal. Karena itu pemerintah harus menyubsidi rumah vertikal supaya orang hidupnya vertikal,” tegasnya.
Baca Juga
Adapun, regulasi mengenai pemberian insentif bagi hunian vertikal itu ditargetkan bakal mulai rampung pada bulan depan.
“Sedang berjalan aturan regulasi, petunjuk teknisnya sedang disiapkan,” pungkasnya.
Tak hanya berencana mengerek pajak bagi rumah tapak di perkotaan, pemerintah juga sebelumnya berencana untuk memangkas luas rumah tapak subsidi dari semula 60 meter persegi menjadi 25 meter persegi.
Rencana perubahan tersebut telah diatur dalam draf perubahan Keputusan Menteri PKP Nomor --/KPTS/M/2025 tentang batasan luas tanah dan luas lantai rumah umum tapak dan satuan rumah susun menjadi paling kecil seluas 25 meter persegi (luas tanah) dan 18 meter persegi (luas lantai).
Dalam beleid itu, ditetapkan bahwa luas tanah paling rendah rumah subsidi yakni 25 m2 dan paling tinggi yakni 200 m2. Sementara itu, luas lantai rumah paling rendah yakni 18 m2 dan paling tinggi 36 m2.