Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom mewanti-wanti risiko terjadinya gelembung properti usai pemerintah memutuskan untuk memperpanjang insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk sektor properti pada tahun depan.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet meyakini perpanjangan Diskon Pajak sektor properti tersebut notabenenya memang masih diperlukan. Hanya saja, sambungnya, pelaksanaannya harus dikelola dengan baik.
Yusuf menilai setidaknya ada tiga dampak positif perpanjangan kebijakan PPN DTP untuk sektor properti. Pertama, kebijakan tersebut secara langsung menurunkan beban pajak atas transaksi perumahan yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya beli properti.
"Peningkatan permintaan ini tidak hanya merangsang pertumbuhan industri konstruksi tetapi juga menciptakan efek di sektor-sektor terkait seperti bahan bangunan, jasa keuangan, dan perbankan," jelasnya kepada Bisnis, Selasa (17/12/2024).
Kedua, sambungnya, pengembangan properti juga dapat meningkatkan margin keuntungan atau menawarkan harga yang lebih kompetitif. Pada gilirannya, diharapkan ada peningkatan inovasi dan kualitas hunian secara umum.
Ketiga, Yusuf melihat perpanjangan insentif PPN DTP sektor properti dapat membantu menjaga stabilitas pasar perumahan pasca-pandemi. Setelah periode ketidakpastian ekonomi, lanjutnya, kebijakan PPN DTP dapat berfungsi sebagai alat stabilisasi untuk mencegah penurunan tajam dalam penjualan properti.
Baca Juga
"Apalagi kita tahu pemerintah saat ini juga tengah berupaya untuk mendorong peningkatan kepemilikan hunian masyarakat. Kebijakan ini tentu selaras dengan upaya untuk mengejar target tersebut," ujar Yusuf.
Di samping itu, dia mengingatkan bahwa pemerintah harus memastikan insentif pajak itu tidak menyebabkan distorsi pasar atau menciptakan gelembung properti.
Oleh sebab itu, pengawasan yang ketat dan regulasi yang tepat diperlukan untuk mencegah spekulasi berlebihan yang dapat mengakibatkan fluktuasi harga yang tidak stabil.
Tak hanya itu, Yusuf meyakini masih perlu adanya kebijakan pendukung lain karena permasalahan kepemilikan properti secara atau perumahan secara khusus tidak hanya berkaitan dengan pendanaan namun juga penyediaan lahan.
"Sehingga memang diperlukan anggaran atau relokasi untuk kebutuhan tersebut," tutupnya.
Sementara itu, Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono menjelaskan fasilitas PPN DTP notabenenya akan menambah konsumsi dalam negeri. Pada gilirannya, permintaan tetap terjaga dan produksi juga tetap jalan.
"Jadi, secara tidak langsung pemerintah membantu cashflow [arus kas] masyarakat," ujar Prianto kepada Bisnis, Selasa (17/12/2024).
Sejalan dengan itu, diharapkan penerimaan perpajakan dapat meningkat karena ekonomi terus tumbuh sehingga pemilihan ekonomi dan konsumsi dalam negeri bisa tercapai.
Sebagai informasi, dalam konferensi pers pada Senin (16/12/2024), pemerintah mengumumkan perpanjangan kebijakan diskon PPN 100% sampai dengan Rp2 miliar untuk pembelian rumah dengan harga maksimal Rp5 miliar.
Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono Morgiarso menjelaskan setidaknya ada dua alasan pemerintah memperpanjang insentif diskon pajak sektor properti tersebut.
Pertama, kontribusi sektor properti terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) sangat besar. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik, industri konstruksi mendistribusikan 10,06% terhadap PDB sementara industri real estat mendistribusikan 2,32% terhadap PDB pada Kuartal III/2024.
Kedua, industri-industri pendukung juga akan ikut menikmati efek pengganda dari insentif PPN DTP sektor properti tersebut. Akibatnya, terjadi penyerapan tenaga kerja dan konsumsi rumah tangga meningkat.
"Sehingga kita selalu menyampaikan untuk [PPN DTP] sektor properti kita evaluasi, masih tinggi, ya harus kita berikan lagi," jelas Susi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (17/12/2024).
Dari data Kemenko Perekonomian, sambungnya, realisasi insentif fiskal sektor properti menjadi yang paling diminati masyarakat. Dia mencontohkan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebanyak 168.000 unit pada tahun ini sudah habis pada Oktober.
Akibatnya, pemerintah memutuskan untuk menambah kuota FLPP menjadi 200.000 unit. Pada awal November, kuota FLPP tersisa 22.000 unit lagi.
"Jadi efektivitas properti kalau dilihat dari realisasi memang paling bagus dari sektor lain," ujar Susi.