Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Waswas Produksi Nikel Dibatasi, Pengusaha Smelter Dibayangi Pembengkakan Biaya

Isu pemangkasan kuota produksi nikel yang santer beredar cukup membuat pengusaha smelter waswas.
Ilustrasi pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa./JIBI-Nurul Hidayat
Ilustrasi pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Isu pemangkasan kuota produksi nikel yang santer beredar cukup membuat pengusaha smelter waswas. Pasalnya, produksi nikel yang terbatas berpotensi mengerek ongkos produksi.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) disebut-sebut tengah mempertimbangkan untuk mengurangi kuota produksi bijih nikel dari 272 ton menjadi 150 juta ton pada tahun depan. Pengurangan kuota ini guna mendongkrak harga bahan baku baterai itu di pasaran.

Meski rencana tersebut belum pasti, Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) mewaspadai dampaknya terhadap bisnis smelter.

Sekretaris Jenderal AP3I Haykal Hubeis mengatakan, terbatasnya produksi nikel berpotensi menaikkan biaya operasional produksi smelter. Hal ini terjadi lantaran bijih nikel yang diolah smelter akan berkurang, sementara ongkos operasional tetap tinggi.

Pendapatan pengusaha smelter, lanjut Haykal, berpotensi berkurang. Tak hanya itu, pengusaha smelter juga tak menutup kemungkinan untuk melakukan penyesuaian jumlah tenaga kerja.

"Jelas berdampak pada sisi operasional di mana besar kemungkinan biaya operasional akan tinggi," kata Haykal kepada Bisnis, Kamis (26/12/2024).

Untuk itu, Haykal meminta pemerintah untuk mempertimbangkan adanya masa transisi sebelum melakukan pembatasan produksi nikel. Menurutnya, hal ini penting untuk memastikan bahwa semua smelter, baik yang berskala besar maupun menengah, memiliki waktu untuk melakukan penyesuaian.

"Sebab kemampuan dan kekuatan [bisnis perusahaan smelter] berbeda satu sama lain," imbuh Haykal.

Di sisi lain, Haykal mengamini bahwa pembatasan produksi nikel dapat berdampak positif jika tujuannya untuk menjaga harga di pasar global. Selain itu, pembatasan itu juga penting untuk menjaga umur tambang supaya lebih lama, atau meminimalkan potensi dampak lingkungan.

Namun, dia mengingatkan rencana pembatasan produksi nikel berisiko mengganggu kepercayaan investor. 

"Jika dilihat sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap pasar maka ceritanya akan berbeda di mata para investor," kata Haykal.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno telah memberi sinyal bahwa kementerian bakal membatasi produksi produk nikel demi menjaga harga tetap tinggi di pasaran global. Tri mengatakan, pembatasan produk nikel kian relevan di tengah tingginya konflik geopolitik saat ini.

"Nikel kita mulai atur produk apa di pasar jangan sampai over, jadi optimal saja. Nanti kita batasi produk nikel yang jenuh di pasar supaya harga naik," kata Tri dalam acara Bisnis Indonesia Economic Outlook di Jakarta, Selasa (10/12/2024).

Namun, dia tak memerinci kapan pembatasan produk nikel itu bakal berlaku. Tri hanya mengatakan bahwa di tengah konflik global, Indonesia harus memiliki daya tahan.

"Saya sepakat tidak baik-baik saja [kondisi dunia], ini challenge bagi kita terutama Indonesia dengan komoditas yang ada bisa berperan lebih," ucapnya.

Sementara itu, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung tak membantah ataupun membenarkan wacana mengurangi kuota produksi bijih nikel dari 272 juta ton menjadi 150 juta ton pada tahun depan. 

Dia hanya mengatakan, pihaknya akan mengkaji terlebih dahulu rencana produksi nikel yang diajukan perusahaan-perusahaan tambang lewat rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).

"Pembatasan ini sesuai dengan rencana perusahaan, mereka akan menyampaikan RKAB, itu sesuai RKAB mereka, pasok ke mana. Jadi justru ini yang akan kami lihat lebih dahulu," tutur Yuliot saat ditemui di Medan, Sumatra Utara, Senin (23/12/2024).

Di sisi lain, Yuliot menuturkan, pemerintah akan tetap menggenjot hilirisasi nikel guna meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Dia juga memastikan kebutuhan nikel untuk industri domestik harus tetap terpenuhi.

"Program hilirisasi untuk memberikan nilai tambah dalam negeri itu tetap akan berjalan. Jadi nanti untuk nikel kita harus lihat hilirisasinya sejauh mana dan menfaat bagi industri, termasuk rantai pasok yang ada harus mencukupi," jelas Yuliot. 

Harga Nikel Loyo

Berdasarkan data yang diterima Bisnis, terjadi oversupply produksi nikel sebesar 253.000 ton di pasar global. Indonesia sendiri memproduksi lebih dari 50% dengan produksi nikel naik 24,7% dari 307.000 ton menjadi ke 383.000 ton secara tahunan (year-on-year/yoy).

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper