Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PMI Manufaktur RI Kembali Ekspansif, Menguat ke 51,2

PMI Manufaktur Indonesia kembali ekspansif usai berada di zona kontraksi selama 5 bulan beruntun.
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia kembali ekspansif usai berada di zona kontraksi selama 5 bulan beruntun.

Berdasarkan laporan terbaru S&P Global, Kamis (2/1/2025), PMI manufaktur Indonesia menguat ke level 51,2 pada Desember 2024 dari sebelumnya terkontraksi di 49,6 pada November 2024. Indeks kinerja manufaktur ini merupakan yang tertinggi sejak Mei 2024.

Kenaikan PMI tersebut didorong oleh kenaikan volume produksi dan permintaan baru secara bersamaan. Secara keseluruhan, produksi naik pada tingkat sedang. Namun, pada laju lebih cepat dibandingkan November 2024.

Permintaan pasar secara umum dilaporkan menguat, baik di dalam maupun luar negeri. Volume penjualan ekspor baru naik, meski marginal, untuk pertama kali hanya dalam waktu kurang dari 1 tahun.

“Perekonomian manufaktur Indonesia berakhir pada tahun 2024 dengan catatan positif. Ekspansi untuk pertama kali sejak pertengahan tahun menunjukkan bahwa penjualan dan output naik. Terlebih lagi, besar harapan bahwa tren positif ini akan berlanjut," ujar Economics Director S&P Global Market Intelligence Paul Smith melalui rilis, Kamis (2/1/2025).

Dia mengatakan, banyak perusahaan optimistis produksi naik pada tahun mendatang karena kondisi makro ekonomi stabil dan daya beli klien membaik sehingga lapangan kerja dan aktivitas pembelian naik.

"Akan tetapi, kabar kurang baik datang dari harga dengan tekanan biaya yang sedikit menguat sejak bulan November dan output kembali naik. Sementara, inflasi secara umum masih dapat ditangani saat ini agar tetap di bawah rata-rata jangka panjang, tren harga tentu saja akan terus diamati pada tahun baru," kata Paul.

Dari segi harga, inflasi harga input masih tergolong tinggi sejak November, meski di bawah rata-rata survei jangka panjang.

Menurut panelis, penguatan dolar AS tercatat menyebabkan kenaikan harga barang impor. Selain itu, terdapat tekanan pada rantai pasokan, dengan kinerja vendor yang memburuk secara keseluruhan untuk pertama kalinya dalam 3 bulan terakhir.

Perusahaan-perusahaan merespons kenaikan biaya input dengan menaikkan harga selama 3 bulan berturut-turut. Tingkat
inflasi tergolong sedang, tetapi masih tergolong tinggi yang tercatat pada survei sejak Agustus 2024.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper