Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah resmi memberlakukan aturan opsen pajak pada Minggu (5/1/2025). Namun, masyarakat perlu mengetahui cara penghitungan opsen pajak dengan tarif 66% agar tidak salah paham.
Opsen pajak adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu, berdasarkan Undang-Undang No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Sebelum adanya aturan opsen, terdapat lima kolom pungutan pajak, yakni Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), Biaya administrasi STNK, dan Biaya Administrasi TNKB.
Nah, setelah ada aturan opsen, nantinya pemerintah kabupaten atau kota dapat memungut opsen dari PKB dan opsen BBNKB sehingga ada dua kolom tambahan di STNK. Sementara itu, pemerintah provinsi dapat memungut opsen dari Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
Ditinjau berdasarkan tarifnya, tarif opsen PKB dan opsen BBNKB adalah sebesar 66%. Sementara itu, opsen MBLB sebesar 25%. Kebijakan tersebut berlaku pada 5 Januari 2025.
Namun, bukan berarti pajak kendaraan naik sebesar 66%. Perlu dipahami bahwa aturan opsen itu tidak menambah beban wajib pajak. Walaupun objek pajak bertambah, jumlah pajak yang dibayarkan oleh masyarakat relatif tidak berubah.
Baca Juga
Tidak adanya penambahan beban itu disebabkan oleh penurunan tarif PKB. Dalam aturan lama yakni UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau PDRD, tarif PKB paling tinggi sebesar 2%. Namun, dalam aturan baru UU HKPD, tarif paling tinggi menjadi hanya 1,2%.
Dengan kata lain, implementasi opsen dipraktikkan sebagai mekanisme bagi hasil oleh pemerintah provinsi (pemprov) kepada pemerintah kabupaten atau kota.
Alhasil, penerapan opsen tidak menambah jumlah pajak yang dibayarkan. Sebaliknya, opsen justru menambah penerimaan bagi pemkab/pemkot. Tentu ini menjadi perangkat baru yang akan meningkatkan kemandirian fiskal daerah
Berikut Simulasi Cara Hitung Opsen Pajak Kendaraan 66%:
Aturan lama UU No. 28/2009:
Wajib pajak A memiliki mobil dengan asumsi nilai jual kendaraan bermotor (NJKB) sebesar Rp200 juta dan tarif PKB provinsi yang bersangkutan sebesar 2%.
Maka pajak yang dibayarkan senilai: Rp200 juta x 2% = Rp4 juta.
Nah, dari jumlah Rp4 juta tersebut, pemprov mendapatkan bagian sebesar Rp2,8 juta atau 1,4% dari Rp200 juta. Lalu, pemkab/pemkot mendapatkan bagian Rp1,2 juta atau 0,6% dari Rp200 juta.
Aturan baru UU HKPD No. 1/2022:
Adapun, dalam aturan baru terkait opsen pajak yang tertuang di UU HKPD, dengan asumsi NJKB Rp200 juta dan tarif PKB 1,2%.
Maka, PKB terutangnya adalah 1,2% x Rp200 juta= Rp2,4 juta (jumlah ini masuk ke Rekening Kas Umum Daerah atau RKUD Provinsi yang bersangkutan)
Opsen PKB-nya sebesar 66% x Rp2,4 juta = Rp1,58 juta (masuk ke RKUD Pemda Kabupaten atau Kota sesuai alamat atau NIK wajib pajak)
Jika dijumlahkan PKB terutang dan opsen PKB, maka sebesar Rp3,98 juta.
Alhasil, jumlah pajak yang diatur di UU HKPD itu tidak jauh berbeda dibandingkan aturan sebelumnya di UU No. 28/2009.