Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah pakar melihat belum ada kejelasan arah tujuan dari kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto menjelang 100 hari pertamanya memimpin pemerintahan.
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menjelaskan pemerintahan Prabowo mewarisi berbagai permasalahan ekonomi yang belum terselesaikan seperti ketidakjelasan hukum, biaya bisnis yang tinggi, hingga stagnansi pertumbuhan.
Kendati demikian, sambungnya, belum ada kejelasan dari pemerintahan Prabowo untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan tersebut dalam tiga bulan pertamanya.
"Arah kebijakan perekonomian ke depan masih belum bisa kita baca, masih tebak-tebakan," ujar Yose dalam diskusi Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintah Prabowo Bidang Ekonomi secara daring, Rabu (22/1/2025).
Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu tidak menampik bahwa pemerintahan Prabowo telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi baru seperti kenaikan upah minimum provinsi sebesar 6,5%, penghapusan kredit macet UMKM, dan sebagainya.
Hanya saja, belum ada kesatuan yang jelas dari kebijakan-kebijakan tersebut. Apalagi, Yose mengingatkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025—2029 belum juga dirilis ke publik.
Baca Juga
Menurutnya, dokumen tersebut harus sudah diterbitkan paling lambat dalam tiga bulan setelah presiden dan wakil presiden dilantik. Dia mencontohkan, Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan RPJMN 2015—2019 pada awal Januari 2015.
Oleh sebab itu, publik juga belum bisa menilai secara objektif apa arah kebijakan yang sudah dikeluarkan dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo.
"Terus terang dalam tiga bulan ini yang masih disampaikan itu yang masih sifatnya retorika," jelas Yose.
Senada, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha M. Rachbini melihat pemerintahan Prabowo memang sudah mempunyai program-program perekonomian yang ingin dikerjakan. Kendati demikian, implementasinya masih serampangan.
Dia mencontohkan penghapusan kredit macet UMKM. Hingga saat ini, tambah Eisha, masih sekitar 67.000 UMKM yang terdata padahal sasarannya mencapai 1 juta seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/2024.
"Kementerian UMKM-nya sendiri pun masih sibuk dengan struktur organisasi. Padahal program-program UMKM itu tidak bisa menunggu, pemerintah harus jalan cepat," ujar pengajar di Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor tersebut pada kesempatan yang sama.