Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan belanja jumbo dari Presiden Prabowo Subianto untuk program makan bergizi gratis, realokasi anggaran, hingga pembentukan BPI Danantara yang 'menyedot' dividen dan APBN menimbulkan sorotan atas kondisi fiskal Indonesia. Kebijakan-kebijakan itu mulai menunjukkan efeknya, baik kepada para CPNS maupun bagi keuangan negara.
Maret 2025 menjadi waktu yang dinanti-nanti para calon pegawai negeri sipil (CPNS) karena mereka bisa memulai pekerjaan dan pengabdiannya. Namun, tiba-tiba kabar mengejutkan muncul, bahwa terdapat penundaan pengangkatan CPNS agar serempak pada Oktober 2025 mendatang.
Protes pun menyeruak, baik dari mereka yang sudah diterima dan siap bekerja maupun dari para analis, karena kebijakan itu dapat memberikan ketidakpastian dan merugikan. Bahkan, tidak sedikit kandidat yang sudah keluar (resign) dari tempat kerjanya karena lulus CPNS—pekerjaan yang selama ini dianggap aman dan stabil—tetapi menjadi tidak menentu nasibnya kini.
Center of Economic and Law Studies (Celios) mengindikasikan penundaan pengangkatan CPNS 2024 terkait dengan kondisi pemerintah yang kekurangan anggaran dalam bentuk tunai (cash), yakni karena gangguan sistem inti perpajakan atau Coretax dan rendahnya penerimaan pajak awal tahun ini. Akibatnya, belanja pegawai harus dihemat.
Lalu, terdapat efek realokasi anggaran untuk program makan bergizi gratis dan Danantara, yang berdampak kepada alokasi belanja pegawai dalam struktur APBN. Celios juga melihat indikasi buruknya perencanaan pemerintah karena formasi CPNS 2024 dibuka sebelum jalannya pemerintahan baru, sehingga perekrutan tidak sejalan dengan kebutuhan.
Celios memperkirakan bahwa penundaan pengangkatan CPNS akan menimbulkan dampak yang signifikan, setidaknya akan muncul kerugian ekonomi hingga Rp11,9 triliun karena kebijakan tiba-tiba itu.
"Hasil modelling Celios menggunakan metode Input-Output [I-O] menemukan kerugian total output ekonomi Rp11,9 triliun, pendapatan masyarakat turun Rp10,4 triliun," ujar Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara, Senin (10/3/2025).
Kerugian itu termasuk pendapatan para calon aparatur sipil negara (ASN) yang berpotensi hilang akibat penundaan pengangkatan 250.407 formasi, senilai Rp6,76 triliun.
Angka kerugian ekonomi tersebut diperoleh dengan asumsi rata-rata gaji pokok aparatur sipil negara (ASN) senilai Rp3,2 juta (masa kerja 0—3 tahun). Setelah itu, diambil 80% gaji pokok, dikurangi pajak, lalu ditambah tunjangan, sehingga asumsinya menjadi Rp3 juta per bulan per orang.
Semisal ada 9 bulan penundaan pengangkatan CPNS, artinya ada potensi pendapatan per orang ASN yang hilang sebesar Rp27 juta.
Pada kenyataannya dengan penundaan ini, Bhima melihat bukan hanya pendapatan masyarakat yang turun, tetapi juga pendapatan tenaga kerja hingga surplus perdagangan yang seharusnya terjadi, hilang.
Pasalnya, pengusaha sangat dirugikan karena uang gaji dan tunjangan yang harusnya bisa dibelanjakan CPNS membeli berbagai produk kebutuhan pokok, perumahan hingga elektronik menjadi potential loss alias hilang.
"Pemerintah harus mempertimbangkan efek berantai dari setiap keputusan yang tidak hanya melibatkan ratusan ribu CPNS yang nasibnya tidak pasti, tapi juga pengusaha dan karyawan swasta yang terdampak kebijakan fatal pemerintah saat ekonomi sedang memburuk," ujar Bhima.
Defisit APBN Berisiko Terdampak
Kebijakan itu juga berdampak kepada pandangan investor dan pihak luar terhadap perekonomian Indonesia. Terbaru, Goldman Sachs Group Inc. memproyeksikan defisit APBN akan semakin melebar dan mendekati batasnya, yakni 2,9% pada 2025.
Dilansir dari Bloomberg, proyeksi itu terungkap dalam publikasi terbaru mengenai penurunan peringkat saham dan obligasi Indonesia. Goldman Sachs menurunkan peringkat obligasi negara tenor 10 dan 20 tahun menjadi neutral, serta menurunkan peringkat saham Indonesia dari overweight menjadi market weight.
Risiko fiskal Indonesia menjadi alasan utama bank raksasa tersebut menurunkan proyeksinya atas pasar modal Indonesia. Terdapat kekhawatiran atas ketegangan perdagangan global dan pelemahan ekonomi domestik setelah Presiden Prabowo Subianto mengumumkan serangkaian kebijakan fiskal.
Alhasil, Goldman Sachs memproyeksikan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2025 mencapai 2,9%. Proyeksi itu lebih lebar dari target pemerintah, yakni defisit 2,53%.
Proyeksi 2,9% dari Goldman Sachs mendekati batas maksimal defisit APBN yang ditetapkan pemerintah, yakni 3%. Proyeksi itu sejalan dengan risiko fiskal yang dikhawatirkan Goldman Sachs.
Dalam sepuluh tahun terakhir, defisit APBN melebihi 3% hanya pada saat pandemi Covid-19, yakni 2020 dan 2021. Pemerintah menetapkan pengecualian karena tingginya kebutuhan belanja negara untuk penanganan pandemi, ketika penerimaan negara berkurang drastis karena perekonomian terganggu.
Defisit APBN pada 2020 tercatat mencapai 6,09%, lalu pada 2021 defisit menjadi 4,65%. Selain dua tahun itu, defisit APBN tercatat selalu berada di bawah 3%.
Meskipun demikian, dalam satu dekade terakhir defisit APBN tidak pernah mendekati 2,9% seperti yang diperkirakan Goldman Sachs. Catatan defisit terlebar terjadi pada 2015, yakni mencapai 2,59%.
Melebarnya defisit APBN 2025 dinilai sebagai dampak dari belanja jumbo untuk program seperti makan bergizi gratis (MBG), realokasi anggaran, pembentukan BPI Danantara, hingga perluasan kebijakan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui penerbitan SBN Perumahan.
Lalu, belum rilisnya data APBN periode Januari 2025 juga membuat para investor resah dan mempertanyakan bagaimana kondisi fiskal pemerintahan Prabowo pada 2025, setelah program makan bergizi gratis berlangsung dan adanya implementasi sistem inti perpajakan alias Coretax.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Deni Surjantoro menyampaikan bahwa rencananya, rilis data fiskal terbaru akan berlangsung pada pekan ini, meskipun belum ada tanggal pasti.
"InsyaAllah [konferensi pers APBN KiTa] jadi, semoga sesuai rencana. Pertengahan minggu, tanggalnya belum pasti," ujar Deni kepada Bisnis, Minggu (9/3/2025).