Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memastikan pemerintah akan tetap menerapkan kebijakan pajak minimum global bagi perusahaan multinasional AS di RI, meski Negeri Paman Sam tersebut menarik diri dari kesepakatan pajak global.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Dwi Astuti menyampaikan hal tersebut tidak mengubah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024, di mana pemerintah Indonesia melaksanakan ketentuan pengenaan pajak minimum global berdasarkan kesepakatan internasional.
Kebijakan tersebut hanya berlaku bagi Grup Perusahaan Multinasional (GPM) yang memiliki peredaran usaha konsolidasi global paling sedikit 750 juta Euro dalam satu tahun. Namun, tak wajib membayar pajak tambahan (top-up tax).
“Kewajiban top-up tax hanya akan timbul apabila terdapat anggota grup GPM yang dikenakan pajak dengan tarif efektif kurang dari 15% di negara anggota grup GPM tersebut melakukan kegiatan usaha,” ujarnya, Rabu (22/1/2025).
Adapun tarif top-up tax adalah selisih dari 15% dengan tarif pajak efektif yang dikenakan pada negara tersebut.
Apabila terdapat GPM asal AS di RI yang saat ini membayar Pajak Penghasilan (PPh) Badan kurang dari 15%, maka perusahaan tersebut wajib membayar pajak tambahan.
Baca Juga
Indonesia Untung dari Pajak Minimum Global
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar melihat memang dengan ketentuan yang ada sekarang, GPM asal AS di Indonesia masih terdampak ketentuan pajak minimum global.
“Mengapa? Pajak minimum global punya ‘backstop mechanism.’ Apa artinya? Kalau suatu negara tidak ikut ketentuan pajak minimum global maka hak pemajakannya akan menjadi hak negara lain,” jelasnya.
Dengan demikian, potensi penerimaan pajak minimum global dari GPM asal AS akan menjadi hak Indonesia. Alhasil, terdapat potensi peningkatan penerimaan bagi Indonesia dari pajak minimum global tersebut.
Fajry menjelaskan ‘backstop mechanism’ memiliki mekanisme yang memaksa suatu negara untuk ikut pajak minimum global. Contohnya Singapura atau Uni Emirat Arab. Meski Pemerintah Singapura atau UAE rugi karena ikut pajak minimum global, tetapi karena ‘backstop mechanism,’ mereka terpaksa ikut.
Kecuali, lanjut Fajry, ada ketentuan baru atau mekanisme lain yang dapat menegasikan backstop mechanism yang menurutnya akan sulit dilakukan karena akan berurusan dengan ratusan negara yang telah mengimplementasikan pajak minimum global.
“Tapi kan AS kasusnya beda, dia negara adikuasa. Apakah bisa [menegasikan backstop mechanism]?” tuturnya.
Untuk diketahui, Indonesia resmi menerapkan pajak minimum global bagi perusahaan multinasional per 1 Januari 2025.
Penerapan tersebut merupakan komitmen pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang lebih sehat dan kompetitif. Melalui kebijakan ini, pajak tidak lagi menjadi faktor utama penentu negara tujuan investasi.
Inisiatif ini bertujuan untuk meminimalkan kompetisi tarif pajak yang tidak sehat (race to the bottom) dengan memastikan bahwa perusahaan multinasional beromzet konsolidasi global minimal 750 juta Euro membayar pajak minimum sebesar 15% di negara tempat perusahaan tersebut beroperasi.