Bisnis.com, JAKARTA - Ekspor Jepang naik selama tiga bulan beruntun pada Desember 2024 seiring dengan nilai yen yang melemah karena para pelaku bisnis menunggu kejelasan lebih lanjut terkait kebijakan perdagangan AS dalam masa jabatan kedua Presiden Donald Trump.
Data Kementerian Keuangan Jepang melaporkan pada Kamis (23/1/2025) mencatat, ekspor yang diukur dalam nilai naik 2,8% secara year on year (YoY) yang dipimpin oleh mesin pembuat chip dan suku cadang semikonduktor.
Angka tersebut mengalahkan estimasi konsensus kenaikan sebesar 2,4%, meskipun pengiriman turun dalam hal volume. Impor naik 1,8%, dipimpin oleh mesin kalkulasi dan barang-barang terkait, tetapi lebih lemah dari perkiraan.
Nilai tukar yen rata-rata 152,48 per dolar pada bulan Desember, 3,8% lebih lemah dari tahun sebelumnya, jelas Kementerian Keuangan. Nilai yen yang lebih lemah cenderung membantu keuntungan eksportir sementara itu membuat impor energi dan makanan menjadi lebih mahal.
“Ekspor kurang kuat. Yen yang lebih lemah mendorong nilai ekspor, tetapi volumenya turun. Perusahaan tengah menunggu untuk melihat kebijakan tarif pemerintahan Trump. Tentu saja ada risiko bahwa ekspor akan menurun jika tarif benar-benar diberlakukan," kata ekonom di Meiji Yasuda Research Institute, Yuichi Kodama dikutip dari Bloomberg, Kamis (23/1/2025).
Berdasarkan wilayah, ekspor ke AS turun 2,1%, sementara pengiriman ke China turun 3%. Ekspor ke Eropa naik 0,5%, dan meningkat 5,8% ke Asia.
Baca Juga
Data ekspor Jepang muncul sehari sebelum keputusan kebijakan terbaru Bank of Japan mana (BOJ). Bank sentral Jepang itu diperkirakan akan menaikkan suku bunga menjadi 0,5%.
Melemahnya yen dan peningkatan volume impor menunjukkan bahwa tekanan inflasi akan tetap ada, yang membantu mendukung upaya BOJ untuk menaikkan suku bunga.
Sebelum laporan hari Kamis dirilis, analis di SMBC Nikko Securities Inc. menulis dalam sebuah catatan bahwa ekspor mungkin terdongkrak oleh permintaan pada menit-menit terakhir yang mengantisipasi tarif baru di bawah Trump.
Setelah pelantikannya minggu ini, Trump mengatakan bahwa dia mempertimbangkan untuk memberlakukan pungutan sebesar 25% atas barang-barang dari Meksiko dan Kanada paling lambat tanggal 1 Februari. Dia juga dapat mengenakan tarif sebesar 10% kepada China pada waktu yang sama.
Di tengah serangkaian pengumuman dari Trump, pejabat Jepang mengatakan mereka mencoba menganalisis kebijakan perdagangannya dan dampaknya terhadap perusahaan-perusahaan Jepang.
Kepala pejabat mata uang Atsushi Mimura mengatakan, respons Jepang terhadap tarif AS akan bergantung pada sasaran tindakan tersebut, kapan tindakan tersebut mulai berlaku, dan perincian lainnya.
Data ekspor itu juga menunjukkan neraca perdagangan Jepang secara tak terduga bergerak ke angka positif untuk pertama kalinya dalam enam bulan, dengan surplus sebesar ¥130,9 miliar ($837 juta). Surplus perdagangan Jepang terhadap AS bernilai ¥1 triliun.
Pada 2024, Jepang memiliki defisit perdagangan keseluruhan sebesar ¥5,3 triliun, tetapi memiliki surplus sebesar ¥8,6 triliun dengan AS, yang berpotensi menjadi sumber ketegangan dengan Trump, yang tidak menyukai defisit perdagangan Washington dengan negara-negara lain.
Menteri Luar Negeri Jepang Takeshi Iwaya, yang menghadiri upacara pelantikan Trump di Washington, mengatakan bahwa dia tidak membahas tarif dengan mitranya Menteri Luar Negeri Marco Rubio dalam pertemuan pertama mereka.
Pada Desember lalu, Iwaya mengatakan pemerintah Jepang bermaksud untuk memulai pembicaraan perdagangan dengan Trump dengan pemahaman bahwa penghapusan tarif pada mobil dan suku cadang mobil akan menjadi agenda.
Perdana Menteri Shigeru Ishiba diperkirakan akan bertemu dengan Trump bulan depan. Cara Ishiba menghadapi Trump terkait perdagangan akan diawasi pasar dengan ketat.