Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Negosiator Perdagangan Jepang Ryosei Akazawa menyebut Amerika Serikat (AS) memastikan akan mengakhiri penerapan tarif berganda tarif terhadap Jepang. AS juga disebut akan memangkas bea impor mobil seperti yang telah dijanjikan sebelumnya.
Hal tersebut diungkapkan Akazawa setelah melakukan pertemuan dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick dan Menteri Keuangan Scott Bessent. Pernyataan ini memberi sedikit kelegaan di tengah keraguan atas detail kesepakatan dagang yang dicapai kedua negara bulan lalu.
“Kami telah memastikan bahwa ketika pihak AS merevisi perintah eksekutif soal tarif universal, mereka juga akan mengeluarkan perintah baru untuk menurunkan tarif mobil dan suku cadang. Kami akan terus mendesak melalui seluruh jalur yang tersedia agar hal ini segera terealisasi,” ujar Akazawa dikutip dari Bloomberg, JUmat (8/8/2025).
Akazawa belum bisa memastikan kapan perintah tersebut akan diterbitkan, namun dia memperkirakan tidak akan memakan waktu hingga enam bulan atau satu tahun.
Akazawa melanjutkan, para pejabat AS menyesalkan aturan penumpukan tarif (stacking) tetap diberlakukan terhadap Jepang meski telah ada kesepakatan lisan. Washington juga berjanji akan mengembalikan kelebihan pungutan yang telah dibayarkan. Namun, belum ada kesepakatan terkait waktu pelaksanaan kebijakan tersebut.
Adapun, hingga kini, pihak AS belum memberikan komentar resmi terkait pertemuan terbaru itu.
Baca Juga
Jepang sebelumnya terkena tarif universal yang lebih tinggi dari perkiraan sebagai bagian dari gelombang pungutan baru yang diumumkan pemerintahan Presiden Donald Trump pada Kamis (7/8/2025). Meski selisihnya relatif kecil, kebijakan ini memicu kritik baru terhadap Perdana Menteri Shigeru Ishiba yang tengah menghadapi desakan mundur usai hasil buruk pada pemilu.
Dalam sistem stacking, tarif 15% untuk Jepang ditambahkan ke pungutan yang sudah berlaku. Setelah mendapatkan pengecualian, tarif 15% hanya berlaku untuk barang yang sebelumnya dikenakan tarif di bawah 15%, sedangkan produk dengan tarif di atas 15% tidak akan mendapat tambahan bea lagi.
Namun yang lebih membebani perekonomian Jepang adalah tarif mobil yang masih mencapai 27,5% — gabungan dari tarif lama 2,5% dan tambahan 25% dari kebijakan Trump.
Dia menambahkan, sebagian perusahaan merugi hingga ¥100 juta (US$679.000) per jam akibat tarif tersebut, tanpa menyebut nama. Akazawa menekankan, pihaknya tetap menuntut penerbitan perintah eksekutif secepat mungkin.
“Bahkan jika bisa dilakukan sehari atau sesaat lebih cepat,” ujarnya.
Akazawa menganggap perbedaan penerapan tarif stacking sebagai kesalahan administrasi dalam proses kesepakatan, dan menegaskan Jepang serta AS tetap sejalan dengan kesepakatan dagang akhir Juli lalu. Dia juga membela keputusannya untuk tidak membuat perjanjian itu secara tertulis — langkah yang dipertanyakan oposisi karena menimbulkan kebingungan.
Belum Ada Kepastian
Meski begitu, dia tidak memberikan kepastian kapan tarif universal yang lebih rendah dan pemangkasan tarif mobil akan berlaku. Akazawa hanya menyebutkan kebijakan tersebut akan dilaksanakan pada waktunya. Dia juga memberi sinyal akan kembali ke Washington untuk melanjutkan pembahasan.
“Sejauh yang saya pahami, pihak AS akan menangani hal ini secara wajar. Karena itu kami mengatakan tarif akan diterapkan dalam waktu yang tepat,” ujarnya.
Ketidakpastian jadwal pemangkasan tarif menjadi 15% menyulitkan pelaku industri otomotif, yang mempekerjakan sekitar 8% tenaga kerja Jepang dan menjadi penentu tren kenaikan upah yang menopang kebijakan kenaikan suku bunga bertahap Bank Sentral Jepang.
Pekan ini, Toyota Motor Corp. memangkas proyeksi laba tahunannya setelah memperkirakan beban tarif AS akan menggerus pendapatan hingga ¥1,4 triliun (US$9,5 miliar). Produsen mobil terbesar dunia itu kini memperkirakan laba operasional ¥3,2 triliun untuk tahun fiskal yang berakhir Maret 2026, turun dari target awal ¥3,8 triliun.
Sebaliknya, Honda Motor Co. justru merevisi naik proyeksi laba tahunan dengan asumsi tarif 15% terhadap produk Jepang, menjadi ¥700 miliar (US$4,7 miliar) dari estimasi sebelumnya ¥500 miliar.