Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai target rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto/PDB sebesar 18% lebih rasional untuk saat ini, ketimbang harapan Presiden Prabowo Subianto yakni tax ratio 23%.
Direktur Eksekutif dan Analis Kebijakan Pajak Pratama-Kreston Tax Reserch Institute Prianto Budi Saptono menyampaikan dengan kondisi ekonom global dan domestik terkini, dirinya optimistis 80% bahwa target 18% masih mampu tercapai pada akhir kepemimpinan Prabowo.
“Secara rasional, target 18% pada 2029 pasti lebih rasional dari target 23%,” ujarnya, Rabu (5/3/2025).
Sekalipun untuk mencapai 18%, pemerintah harus punya usaha lebih atau extra effort agar tingkat pertumbuhan penerimaan pajak mampu lebih besar dari tingkat pertumbuhan PDB.
Pada 2024, penerimaan pajak hanya mampu tumbuh sebesar 3,5% atau masih lebih rendah dari realisasi pertumbuhan ekonomi pada tahun yang sama, yakni sebesar 5,03%.
Sementara pertumbuhan penerimaan dari kepabeanan dan cukai mampu tumbuh sebesar 4,9%, lebih mendekati pertumbuhan ekonomi meski tetap lebih rendah.
Baca Juga
Melihat bagian Sasaran Fiskal Tahun 2025-2029 dalam Peraturan Presiden Nomor 12/2025 tentang RPJMN 2025—2029, rasio pendapatan negara ditargetkan pada rentang 13,75%—18%.
Sementara rasio penerimaan pajak dalam arti luas, termasuk bea dan cukai, ditargetkan pada rentang 11,52%—15%.
Membandingkan dengan realisasi 2024 sebesar 10,07%, artinya dalam lima tahun ke depan penerimaan perpajakan diharapkan setidaknya mampu naik sebesar 4,93%.
Usaha lebih yang harus pemerintah lakukan menjadi kewajiban karena hal yang menjadi masalah, penerimaan negara tertahan tak lebih dari 11% dalam 10 tahun terakhir.
Pada 2015, tax ratio sebesar 10,76%. Bukannya mengalami perbaikan, pada 2016 justru rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB menurun ke level 10,36% dan menyentuh 9,89% pada 2017.
Lebih jauh lagi, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 59/2024 tentang RPJPN 2025—2045, rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB hanya berada di rentang 18% hingga 20%, bukan 23%.
Sasaran tersebut bahkan tidak jauh berbeda dengan target pada 2029 alias 16 tahun sebelum 2045.
Ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk mengerek penerimaan ke level 23% diyakini dengan terobosan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN), sebagai bagian dari strategi meningkatkan pendapatan negara.
Prabowo turut menyebutkan strategi ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan perpajakan serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Strategi itu menjadi salah satu cara untuk menciptakan kebijakan fiskal yang adaptif dan ruang fiskal yang memadai, demi mencapai sasaran visi Indonesia Emas 2045.
Tercatat bahwa rendahnya pendapatan negara di Indonesia saat ini disebabkan masih terdapatnya kesenjangan mencakup aspek administrasi (administration gap) maupun kebijakan (policy gap) yang memerlukan transformasi tata kelola kelembagaan sebagai enabler untuk optimalisasi pendapatan negara.
Sebelumnya, Direktur P2Humas Ditjen Pajak Dwi Astuti menyatakan pihaknya akan terus fokus dalam mengumpulkan penerimaan pajak dengan menempuh berbagai upaya, termasuk memperkuat penegakan hukum.
"Antara lain perluasan basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi berupa edukasi perpajakan, pengawasan pajak dan law enforcement [penegakan hukum]," ujar Dwi kepada Bisnis, dikutip pada Minggu (9/2/2025).
Selain itu, sambungnya, Ditjen Pajak akan melakukan peningkatan kerja sama perpajakan internasional serta optimalisasi kegiatan joint audit, analisis, investigasi, hingga intelijen.