Bisnis.com, JAKARTA — Investor menantikan pengumuman realisasi data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN periode Januari 2025, yang biasanya disampaikan melalui konferensi pers APBN KiTa, tetapi belum terbit hingga hari ini.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia Fakhrul Fulvian menilai data tersebut menjadi penting bagi investor karena menjadi pertimbangan besar sebelum menyerap Surat Berharga Negara (SBN).
“Ini sangat penting, karena akan menentukan ekspektasi investor terkait penerbitan SBN di tahun ini,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (6/3/2025).
Maklum, realisasi APBN termasuk di dalamnya penyaluran belanja yang juga bersumber dari penerbitan SBN.
Untuk diketahui, umumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melakukan konferensi pers APBN KiTa edisi Januari pada akhir Februari lalu.
Melansir dari laman resmi Kemenkeu, APBN KiTa adalah publikasi Kementerian Keuangan bulanan yang bertujuan untuk menginformasikan masyarakat mengenai kinerja pendapatan, belanja, dan pembiayaan negara sebagai bentuk tanggung jawab publik dan transparansi fiskal.
Baca Juga
Pemerintah tercatat memiliki kebutuhan SBN untuk membiayai APBN dengan pagu belanja senilai Rp2.621,3 triliun. Pada tahun ini, pemerintah merencanakan penerbitan SBN neto senilai Rp642,56 triliun.
Per 27 Februari 2025, posisi outstanding SBN di angka Rp7.906 triliun, bertambah hampir Rp100 triliun dari akhir Januari 2025.
Sementara melansir dari Bloomberg, Kamis (6/3/2025), penundaan yang tidak biasa dalam pelaporan data anggaran bulanan Indonesia membuat para investor mempertanyakan kondisi keuangan pemerintah setelah Presiden Prabowo Subianto memerintahkan perombakan radikal atas rencana-rencana pengeluaran dan pendapatan untuk mendorong pertumbuhan.
Ekonom Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) Lavanya Venkateswaran menyampaikan bahwa para investor sedang menunggu data terbaru untuk mengukur dampak dari langkah-langkah fiskal baru-baru ini dengan lebih baik.
Kurangnya informasi mengenai kondisi fiskal terbaru dapat mempengaruhi sentimen investor. Rupiah turun 2,9% dalam tiga bulan terakhir, menjadikannya mata uang dengan performa terburuk di Asia, sementara indeks saham utama telah turun 10% selama periode tersebut. Sentimen pasar obligasi juga terpengaruh.
Pakar strategi pendapatan tetap dan makro di PT Mega Capital Lionel Priyadi menyampaikan tanpa informasi itu, imbal hasil obligasi tidak dapat mengikuti reli bullish yang telah terjadi di pasar obligasi Amerika Serikat selama dua minggu terakhir.
“Penundaan yang berkepanjangan dapat menciptakan sentimen negatif.” Tuturnya.
Penundaan yang Tidak Biasa
Ekonom Barclays Plc. Brian Tan juga menyebut penundaan ini “tidak biasa” dan mencatat bahwa hal ini mungkin hanya mencerminkan isu-isu seputar tinjauan anggaran yang sedang berlangsung.
Pemerintahan Prabowo telah mengajukan serangkaian kebijakan yang dapat mempengaruhi posisi fiskal negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini. Pemangkasan pengeluaran dimaksudkan untuk memungkinkan dana dialokasikan kembali ke program-program prioritas presiden.
Pemimpin Indonesia telah mengatakan bahwa penghematan dari pemotongan pengeluaran dapat disalurkan ke dana kekayaan negara yang baru, Danantara. Namun, dia telah menerima banyak keluhan mengenai perintahnya untuk mengurangi pengeluaran dan pemerintah, yang mengurangi rencana kenaikan pajak tahun ini, juga menghadapi kritik dari sisi pendapatan.
Sementara Sistem Inti Adminstrasi Perpajakan atau Coretax, menghabiskan lebih dari Rp1,2 triliun untuk dikembangkan dan bertujuan untuk mendigitalkan dan merampingkan berbagai sistem pajak di Indonesia, masih terus banjir keluhan.
Data anggaran, ketika muncul, bisa menjadi konstruktif. OCBC memperkirakan bahwa efisiensi anggaran dapat menghasilkan penghematan sebesar Rp166 triliun atau 0,7% dari PDB.
“Akan lebih baik jika pembaruan-pembaruan ini dilanjutkan lebih cepat daripada nanti, sebelum imajinasi para investor mulai mengembara,” kata Tan.