Dampak ke BI
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede mengatakan kebijakan The Fed pun akan mempengaruhi kebijakan moneter di Tanah Air. Josua melihat Bank Indonesia (BI) tidak akan mengambil resiko menurunkan BI Rate.
Saat ini, suku bunga BI (BI Rate) sebesar 5,75% sementara suku bunga The Fed (Fed Funds Rate/FFR) sebesar 4,5%. Jika BI menurunkan suku bunga acuan sementara The Fed tidak maka maka selisih suku bunga Indonesia dan AS semakin sempit.
"Yang berisiko meningkatkan arus modal keluar dan menekan nilai tukar rupiah," ujar Josua kepada Bisnis, Kamis (6/3/2025).
Bagaimanapun, dolar AS dianggap sebagai aset yang lebih aman sehingga investor akan memilih menjual aset di pasar keuangan negara berkembang seperti Indonesia untuk beralih ke aset Negeri Paman Sam apabila selisih imbal hasilnya tak signifikan.
Selain itu, Josua mengungkapkan inflasi global berpotensi meningkatkan akibat perang dagang. Akibatnya, biaya impor ke Indonesia juga berpotensi naik.
Baca Juga
"Yang dapat membatasi ruang bagi BI dalam menurunkan suku bunga tanpa meningkatkan tekanan inflasi domestik," jelasnya.
Oleh sebab itu, dia mendorong BI melakukan intervensi strategis. Misalnya untuk menjaga stabilitas rupiah, Josua menyatakan BI melakukan intervensi di pasar valas melalui penjualan cadangan devisa dan memanfaatkan instrumen seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) guna menarik modal asing ke aset berdenominasi rupiah.
Pendapat berbeda disampaikan Kepala Ekonom PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) Banjaran Surya Indrastomo. Menurut Banjaran, BI masih punya ruang untuk menurunkan suku bunga.
Dia meyakini BI akan lebih mempertimbangkan pentingnya pertumbuhan kredit yang lebih kuat untuk melawan deflasi yang terjadi dua bulan belakangan dan memanfaatkan momentum Lebaran.
"Kami prakirakan ada penurunan [BI Rate] bulan ini 25 bps dan di Kuartal III atau Kuartal IV," ungkap Banjaran kepada Bisnis, Kamis (6/3/2025).
Sementara itu, Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset BI Fitra Jusdiman menyatakan asesmen otoritas moneter terkait ancaman perang dagang masih sama seperti yang disampaikan dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 19 Februari 2025.
Saat itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan ketidakpastian pasar keuangan global akan tetap tinggi usai kebijakan tarif impor AS lebih cepat dan luas dari prakiraan. Akibatnya penurunan FFR diperkirakan akan terbatas.
Akibatnya, preferensi investor global untuk menempatkan portofolionya ke AS semakin besar. Sejalan dengan itu, indeks mata uang dolar AS masih tinggi dan menekan berbagai mata uang dunia.
"Ketidakpastian global yang tetap tinggi terus memerlukan respons kebijakan yang kuat sehingga dapat memitigasi dampak rambatannya untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik," ujar Perry dalam konferensi pers itu.