Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tak Ada Coretax di APBN KiTa

Sri Mulyani dan jajarannya sama sekali tidak menyebut soal Coretax dalam konferensi pers APBN KiTa, meskipun setoran pajak turun 30% setelah sistem itu berlaku.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajarannya dalam konferensi APBN KiTa di Kemenkeu, Jakarta pada Kamis (13/3/2025). / Bisnis-Surya Dua Artha Simanjuntak
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajarannya dalam konferensi APBN KiTa di Kemenkeu, Jakarta pada Kamis (13/3/2025). / Bisnis-Surya Dua Artha Simanjuntak

Bisnis.com, JAKARTA — Para pakar meyakini permasalahan implementasi Coretax menjadi salah satu faktor utama penurunan penerimaan pajak pada awal tahun. Anehnya, kata 'Coretax' sama sekali tak terucap dalam Konferensi Pers APBN KiTa edisi Maret pada Kamis (13/3/2025) kemarin.

Dalam konferensi pers tersebut, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan realisasi penerimaan pajak Rp187,8 triliun per Februari 2025 atau turun 30,2% secara tahunan (year on year/YoY). Pada Februari 2024, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp269,02 triliun.

Kendati demikian, baik Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, hingga Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo tidak sekalipun menyinggung tentang Coretax ketika membahas perpajakan.

Dengan panjang lebar, Anggito Abimanyu menjelaskan penyebab penerimaan pajak selama awal tahun turun. Menurutnya sejak 2022, pola penerimaan pajak selalu sama yaitu naik pada Desember tetapi menurun pada Januari dan Februari.

"Jadi, tidak ada hal yang anomali [dari penurunan penerimaan pajak selama Januari—Februari 2025]. Jadi sifatnya normal saja," ujar Anggito dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Kamis (13/3/2025).

Hanya saja, dia tidak menampik bahwa penurunan penerimaan pajak pada awal tahun ini lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya. Menurutnya, ada dua faktor utama yang menyebabkan itu.

Pertama, faktor penurunan harga komoditas utama Indonesia seperti batu bara (-11,8%), Brent (-5,2%), dan nikel (-5,9%). Kedua, faktor administrasi.

Terkait faktor administrasi, Anggito menjelaskan adanya sejumlah kebijakan baru yang mempengaruhi penerimaan pajak. Dia mencontohkan kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) atas PPh 21 atau pajak atas penghasilan buruh yang mulai belaku Januari 2024.

Menurutnya, penerapan TER PPh 21 mengakibatkan lebih bayar sebesar Rp165 triliun pada 2024. Anggito menyatakan jika lebih bayar tersebut diklaim pada Januari dan Februari 2025 maka penerimaan pajak jenis PPh 21 akan meningkat (rata-rata Rp21,2 triliun [bruto] pada Desember 2024—Februari 2025) bahkan lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (Rp20,4 triliun [bruto]).

"Jadi ada kebijakan yang baru pertama kali dilaksanakan pada 2024 yang namanya tarif efektif rata-rata untuk PPh 21. Jadi kalau Anda menghitung cash memang turun, tapi kalau ini adalah efek dari kebijakan TER yang dilaksanakan 2024," ujar Anggito.

Selain itu, sambungnya, ada kebijakan relaksasi pembayaran PPN dalam negeri (DN) yaitu pembayaran yang sampai dengan Februari bisa dibayarkan hingga 10 Maret 2025.

Menurutnya, jika perhitungan dinormalisasikan terhadap aturan relaksasi tersebut maka rata-rata penerimaan PPN DN periode Desember 2024—Februari 2025 mencapai Rp69,5 triliun (bruto) atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Rp64,2 triliun [bruto]).

"Jadi itu menjelaskan pola Februari 2025 agak berbeda dengan sebelumnya. Tapi sekali lagi setelah dinormalisasikan dan angka itu diketahui sampai dengan 10 Maret maka polanya sama seperti yang normal," tutupnya.

Singkatnya, Anggito tidak mengungkapkan permasalahan implementasi Coretax menjadi penyebab penerimaan pajak turun.

Data Januari Hilang

Para pejabat otoritas fiskal juga memilih untuk tidak menampilkan data penerimaan pajak pada Januari 2025. Kemenkeu langsung memaparkan data 1 Januari—28 Februari 2025.

Awak media sempat menanyakan perihal hilangnya data Januari tersebut kepada Sri Mulyani tetapi tidak ada jawaban jelas yang diberikan. Padahal, Kemenkeu memutuskan tidak menggelar Konferensi Pers APBN Kita edisi Februari 2025 yang berisi paparan kinerja keuangan negara termasuk pajak selama Januari.

Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui tren bulanan besaran uang yang dipungut pemerintah dari kantong mereka.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Luky Alfirman hanya menyatakan bahwa data Januari 2025 "sudah tidak relevan" sehingga tidak dipaparkan dalam Konferensi Pers APBN Kita edisi Maret kemarin.

Postur APBN per Januari 2025. / dok APBN KiTa
Postur APBN per Januari 2025. / dok APBN KiTa

Memang, data penerimaan pajak pada Januari 2025 tampak lebih buruk yang mana realisasinya sebesar Rp88,89 triliun atau turun 41,86% (YoY). Padahal, realisasi periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar Rp152,89 triliun.

Data tersebut terungkap dalam dokumen APBN KiTa edisi Februari 2025 yang sempat muncul di situs resmi Kemenkeu pada Rabu (12/3/2025) pagi. Hanya saja tak lama setelahnya, Kemenkeu memutuskan menarik kembali dokumen tersebut.

Coretax Biang Kerok

Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia Prianto Budi Saptono meyakini permasalahan implementasi Coretax menjadi penyebab utama penurunan penerimaan pajak pada awal tahun.

Prianto menjelaskan setelah diluncurkan pada 1 Januari 2025, Coretax terus mengalami masalah teknis. Masalahnya, proses bisnis pembayaran pajak hanya bisa dilakukan melalui Coretax.

"Makanya, secara praktis pembayaran pajak tidak dapat dilakukan di bulan Januari 2025 ketika Coretax bermasalah," jelas direktur eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu kepada Bisnis, Rabu (12/3/2025).

Apalagi, sambungnya, setoran pajak yang bermasalah berasal dari jenis pajak yang dikelola Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak seperti pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak bumi dan bangunan (PBB) sektor pertambangan.

Senada, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar melihat setidaknya ada tiga faktor utama yang menjadikan penerimaan pajak terkontraksi yaitu implementasi Coretax yang bermasalah, penerapan kebijakan tarif efektif rata-rata (TER), dan peningkatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN).

Menurutnya, tiga faktor utama tersebut seharusnya bersifat sementara. Oleh sebab itu, dia meyakini ke depan penerimaan pajak bisa meningkat lagi atau terjadi perbaikan.

"Perbaikan ini terjadi karena saya melihat dampak utamanya adalah operational risk [risiko operasional], begitu pula dengan dampak koreksi dari TER maupun restitusi PPN yang akan berkurang dalam beberapa bulan ke depan," jelas Fajry kepada Bisnis, Kamis (13/3/2025).

Kendati demikian, Fajry menggarisbawahi secara fundamental kinerja pajak lebih dipengaruhi oleh kondisi perekonomian. Oleh sebab itu, jika kondisi perekonomian membaik maka target penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun sepanjang 2025 masih bisa tercapai.

"Jika kondisi makro tidak jauh dari asumsi APBN—seperti pertumbuhan ekonomi 5,2%—dan masih dikelola oleh orang yang tepat, saya masih yakin dengan kondisi kesehatan keuangan negara kita," ujarnya.

Lebih lanjut, Fajry mengaku bingung apabila Kemenkeu menyatakan salah satu alasan penerimaan pajak turun karena kebijakan relaksasi pembayaran pajak periode Januari dan Februari 2025 hingga 10 Maret 2025.

Padahal, sambungnya, Keputusan Direktorat Jenderal Pajak No. 67/PJ/2025 baru diterbitkan di akhir Februari 2025.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper