Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Alasan Pengusaha Nikel Risau Kenaikan Tarif Royalti Mineral Pertambangan

Tarif progresif atas bijih nikel naik mulai 14%-19% dari sebelumnya yang hanya 10% menyesuaikan harga mineral acuan (HMA).
Aktivitas alat berat kontraktor pertambangan PT Petrosea Tbk. (PTRO)/petrosea.com
Aktivitas alat berat kontraktor pertambangan PT Petrosea Tbk. (PTRO)/petrosea.com

Bisnis.com, JAKARTA — Para pelaku usaha di sektor pertambangan merisaukan rencana kenaikan royalty sejumlah komoditas mineral dan batu bara.

Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Alexander Barus mengatakan pihaknya menolak rencana pemerintah untuk kenaikan royalti atas sejumlah komoditas mineral dan batubara (minerba).

"Demi menjaga iklim investasi dan daya saing produk hilirisasi nikel Indonesia, kami menolak rencana kenaikan royalti itu untuk saat ini. Ada beberapa pertimbangan terkait hal ini," ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (17/3/2025).

Sejumlah faktor yang membuat kenaikan royalti ini tidak tepat. Salah satunya adalah ketidakpastian ekonomi global yang menyebabkan harga nikel turun ke level terendah sejak 2020.

Selain itu, perang dagang dan peralihan industri kendaraan listrik ke baterai berbasis Lithium Ferro-Phosphate (LFP) mengurangi permintaan nikel di pasar internasional.

"Permintaan pasar China yang lebih rendah dari yang diharapkan. Hilirisasi nikel amat bergantung pada industri baja dunia yang didominasi China dan sedang mengalami pelemahan ekonomi. Selain itu, dampak meningkatnya ketegangan geopolitik negara itu dengan Amerika dapat menghambat pertumbuhan industri kendaraan listrik," katanya.

Dia menyoroti peningkatan biaya produksi akibat berbagai kebijakan domestik seperti kenaikan upah minimum regional (UMR), kewajiban penggunaan Biodiesel 40 (B40) yang lebih mahal, hingga aturan retensi Devisa Hasil Ekspor (DHE).

"Biaya produksi semakin tinggi, sementara akses terhadap bijih nikel juga semakin sulit," ucapnya.

Dari sisi tenaga kerja, hilirisasi nikel telah menciptakan lebih dari 350.000 lapangan kerja, terutama di Indonesia Timur. Kenaikan royalti bisa berdampak pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor tambang dan pengolahan nikel.

Alexander juga menyinggung kebijakan Global Minimum Tax yang menghapus insentif tax holiday bagi industri pionir seperti nikel. Menurutnya, hal ini akan memperketat arus kas perusahaan dan berisiko terhadap keberlanjutan sektor tersebut.

Dari sisi penerimaan negara, FINI menilai kenaikan royalti belum diperlukan. Pasalnya, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor minerba selalu melampaui target dalam lima tahun terakhir.

"Tahun 2020 realisasi PNBP mencapai 110% dari target, 2021 sebesar 193%, 2022 mencapai 180%, 2023 sebesar 118%, dan 2024 sudah mencapai 125%. Jadi belum saatnya menaikkan tarif royalti. Seluruh perusahaan tambang serta pengelolaan dan/atau pemurnian nikel di Indonesia tengah menghadapi masa sulit selama dua tahun terakhir akibat faktor-faktor tersebut. PHK pun sudah di ambang mata," tuturnya

Kendati demikian, FINI selalu terbuka untuk berdiskusi agar program hilirisasi dan industrialisasi sektor nikel bisa melewati masa sulit dan mempercepat hilirisasi berkelanjutan.

Adapun Kementerian ESDM mengusulkan kenaikan royalti atas sejumlah komoditas mineral dan batubara. Salah satu usulan itu adalah tarif progresif atas bijih nikel naik mulai 14%-19% dari sebelumnya yang hanya 10% menyesuaikan harga mineral acuan (HMA). Angka kenaikan tersebut yakni 40%-90% dari single tariff bijih nikel yang berlaku sebelumnya.

Selain itu, tarif progresif nikel matte bahan baku baterai diusulkan naik 4,5%-6,5% menyesuaikan HMA sedangkan windfall profit dihapus. Sebelumnya berlaku single tariff 2% dan windfall profit bertambah 1%. Angka kenaikan ini adalah sebesar 150%-200% dari single tariff bijih nikel yang berlaku sebelumnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper