Bisnis.com, JAKARTA - Selama 30 tahun Indonesia terjebak dalam middle-income trap (MIT). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama dua dekade terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah menyentuh 7%.
Gill (2007) pertama kali memperkenalkan konsep MIT, dan mencatat bahwa penyebab utama yang menghambat negara-negara berkembang menjadi negara berpendapatan tinggi adalah pertumbuhan ekonomi yang stagnan.
Menurut World Bank, suatu negara dapat terlepas dari MIT jika Produk Domestik Bruto (PDB) per kapitanya lebih dari US$13.845 (Rp216 juta), minimal penghasilan seseorang mencapai Rp18 juta/bulan. Sementara itu, hingga 2023, PDB per kapita Indonesia baru menyentuh US$4.783 (Rp71 juta).
Berbeda dari data PDB/kapita, BPS mencatat rata-rata upah minimum pekerja Indonesia hanya sebesar US$189 setara Rp2,94 juta. Besaran upah ini tergolong lebih rendah dari Malaysia (US$359), juga Kamboja (US$194). Dominasi sektor informal kerap menjadi penghambat kemajuan.
Fakta-fakta inilah yang mempersulit upaya Indonesia keluar dari jurang MIT. Lalu, mampukah Indonesia merdeka dari jerat MIT?
Secercah harapan muncul. Sejak 2015 Indonesia memasuki era bonus demografi yang diperkirakan terjadi sampai 2030-an. Pada 2024 BPS mencatat 76,48% (215,3 juta jiwa) dari total masyarakat Indonesia (281,6 juta jiwa) merupakan golongan masyarakat usia produktif kerja (14—64 tahun). Mengingat bonus demografi berpotensi meningkatkan jumlah tenaga kerja, produktivitas suatu negara akan naik, kemudian ekonomi bertumbuh.
Baca Juga
Pertumbuhan ekonomi akan mendorong kenaikan upah rata-rata masyarakat, dan Indonesia siap keluar dari jerat MIT. Implikasinya, bonus demografi dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk keluar dari MIT.
Namun, faktanya tak seutopis yang dibayangkan. Mayoritas pekerja produktif Indonesia malah terserap ke sektor informal dengan gaji di bawah standar minimum, tanpa perlindungan sosial, dan sulit untuk dipajaki.
BPS mecatat, pada 2024 tenaga kerja yang bekerja di sektor informal mencapai 84,2 juta orang atau 55,35% dari total angkatan kerja nasional 2024 (152,11 juta orang). Kenyataan ini diperteruk dengan laporan World Bank (2023) berjudul Indonesia Economic Prospects, yang menjelaskan selama periode 2019—2022 prevalensi pekerjaan layak dengan standar kelas menengah turun signifikan, dari 14% menjadi 9%.
Keterserapan mayoritas tenaga kerja ke sektor informal, menjadi bukti jika kualitas tenaga kerja Indonesia masih belum mampu menjawab tantangan industri, terutama di sektor-sektor bernilai tambah tinggi. BPS mencatat tenaga kerja Indonesia didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (40%), bandingkanlah dengan lulusan Sarjana yang hanya 9,31%.
Minimnya kualitas tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi industri memengaruhi produktivitas kerja mereka, yang dalam jangka panjang berpotensi menghambat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang membutuhkan keterampilan khusus. Akibatnya makin sedikit pekerja Indonesia yang berkesempatan mendapatkan upah tinggi, dikarenakan keengganan sektor industri bernilai tambah tinggi untuk berinvestasi di Indonesia.
Realitas Industri
Untuk bertransisi menjadi high income country, Indonesia perlu mengambil pelajaran dari Brazil yang sejak 1960-an hingga hari ini masih terjebak dalam pendapatan menengah, sekaligus gagal memaksimalkan momentum bonus demografi yang telah terjadi di Brazil sejak 1970. Kesalahan terbesar Brazil adalah kegagalan mereka dalam bertransisi dari industri pengolahan bernilai tambah rendah, menuju industri bernilai tambah tinggi yang berorientasi pada kegiatan ekspor.
Akibatnya Brazil sangat bergantung pada industri pengolahan bernilai tambah rendah untuk menyerap tenaga kerja. Walaupun hasil industri pengolahan menjadi komoditas ekspor Brazil, nyatanya sektor ini cenderung bergantung pada tenaga kerja dengan upah rendah.
Akibatnya rata-rata upah pekerja di Brazil cenderung stagnan, dan hasilnya Brazil gagal memaksimalkan momentum bonus demografi.
Bagaimana dengan Indonesia? Kontribusi industri pengolahan terhadap PDB Indonesia sangat besar. Laporan BPS menunjukan sepanjang 2023, kontribusinya terhadap nilai perekonomian Indonesia berdasarkan PDB Atas Dasar Harga Berlaku mencapai Rp3.900,1 triliun dan menjadi salah satu kontributor terbesar bagi perekonomian Indonesia (18,67%).
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, data dari BPS menunjukan industri pengolahan sektor manufaktur seperti industri makanan dan tekstil mendominasi dengan menyerap hampir 19 juta tenaga kerja. Faktanya, kedua sektor industri ini sangat rentan tertekan oleh krisis ekonomi. Hal ini dibuktikan ketika masa pandemi Covid-19 melanda, banyak industri makanan dan tekstil yang bertumbangan.
BPS melaporkan bahwa laju pertumbuhan lapangan usaha industri pada 2020 menunjukan, di sektor industri tekstil terjadi penurunan yang signifikan hingga -8,8% dari 15,35% pada 2019. Industri makanan juga mengalami penurunan siginifikan dari 7,78% pada 2019 menjadi 1,58% pada 2020. Akibatnya nyaris 3,4 juta karyawan di industri tekstil dan pakaian jadi, terkena PHK.
Selain pada Brazil, Indonesia perlu mengambil teladan dari Korea Selatan (Korsel) sebagai contoh keberhasilan. Pada medio 1970-an pertumbuhan ekonomi Korsel masih di bawah Indonesia, tetapi dalam tiga dasawarsa terakhir, mereka menjelma sebagai negara high-income country.
Apa yang Korsel lakukan? Pemerintah Korsel secara jor-joran mengalokasikan penerimaan pajaknya untuk aktivitas penanaman modal asing pada sektor industri bernilai tambah tinggi, dengan harapan akan terjadinya transfer teknologi, dan karenanya memunculkan inovasi untuk menyokong modernisasi industri Korsel.
Selain itu, investasi besar-besaran pada sektor pendidikan, menjadikan Korsel memiliki kualitas SDM yang mampu menjawab tantangan industri-industri besar dunia bernilai tambah tinggi, yang berorientasi pada riset dan pengembangan inovasi teknologi mutakhir. Upaya yang ditempuh Korsel tidaklah instan. Hingga 2001 PDB Korsel masih US$504 miliar, untuk kemudian menjadi US$1,64 triliun pada 2019.
Bagaimana dengan Indonesia? Harus diakui Indonesia dalam dua dekade terakhir, tengah di ambang fase deindustrialisasi prematur. Kontribusi manufaktur nasional terbilang rendah, dan terus tergerus dari level 28% pada dua dasawarsa lampau, turun drastis hingga kisaran 18,3% pada 2022. Pada saat bersamaan, kontribusi manufaktur negara Asean lainnya justru melesat.
Berdasarkan struktur ekonomi Indonesia, dominasi sektor jasa terhadap PDB memang tengah meningkat (54,4%), tetapi sayangnya pertumbuhan tersebut didominasi oleh sektor jasa transportasi dan pergudangan yang notabene masih kurang memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi. BPS mencatat pada Triwulan III/2023 sektor jasa transportasi hanya berkontribusi 0,61% (YoY) pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Jalan terjal tentu tengah menanti Indonesia. Persoalan MIT bukanlah wacana ekonomi belaka, melainkan realita yang perlu ditangani secepatnya. Pengembangan SDM berkualitas tinggi yang mampu menjawab tantangan industri jelas menjadi kebijakan yang perlu diutamakan, mengingat hanya dengan SDM yang berkualitas persoalan ini menemukan jalan keluarnya.
Bonus demografi bisa terasa sia-sia jika tidak diimbangi dengan upaya meningkatkan kualitas angkatan kerja. Pada 1987 Korsel menghadapi bonus demografi dan mereka berhasil memaksimalkan momentum super langka tersebut dengan baik. Saat ini, kita memiliki modal bonus demografi yang sama dengan Korsel, lantas mampukah Indonesia memaksimalkan momentum ini seperti Korsel, atau berakhir seperti Brazil?