Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Jeblok, Ekonom Kritisi Ketidakkompakan Pemerintah dan Bank Indonesia

Ekonom mengkritisi tidak kompaknya pemerintah dan BI usai nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat anjlok ke level terburuk sejak krisis keuangan 1998.
Karyawan memperlihatkan uang Rupiah dan Dolar AS di salah satu tempat penukaran uang asing di Jakarta, Senin (3/3/2025). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan memperlihatkan uang Rupiah dan Dolar AS di salah satu tempat penukaran uang asing di Jakarta, Senin (3/3/2025). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Para ekonom mengkritisi ketidakkompakan pemerintah dan Bank Indonesia, usai nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat anjlok hingga mencapai level terburuk sejak krisis keuangan 1998 pada hari ini, Selasa (25/3/2025).

Dilansir dari Bloomberg, rupiah sempat melemah 0,5% ke level Rp16.642 per dolar AS pada Selasa (25/3/2025). Level itu merupakan level terlemah rupiah di hadapan dolar AS sejak krisis keuangan pada Juni 1998. 

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai notabenenya pelaku pasar membutuhkan arah bukan janji. Artinya, jika arah kebijakan tidak konsisten maka pasar akan merespons dengan menjual aset yang dianggap beresiko.

Dia mencontohkan keputusan penempatan saham BUMN ke Badan Pengelola Investasi Danantara tanpa penjelasan fiskal yang kuat. Oleh sebab itu, dia tidak heran apabila kurs rupiah belakangan kerap melemah.

Oleh sebab itu, dia mendorong agar pemerintah sebagai otoritas fiskal dan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter menyatukan suara—bukan hanya dari pernyataan namun perbuatan.

"Ketika narasi fiskal pemerintah tidak sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia, nilai tukar melemah dan kepercayaan luntur," ujar Syafruddin, Selasa (25/3/2025).

Menurutnya, pelemahan rupiah belakangan bukan hanya produk dari tekanan eksternal seperti kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve ataupun sentimen global yang belum pulih.

Dia mencontohkan, grafik historis nilai tukar rupiah menunjukkan tren pelemahan bertahap sejak 2015 dengan lonjakan tajam selama pandemi Covid-19 dan tekanan eksternal berulang sejak 2023. 

"Artinya, pelemahan ini juga merupakan cerminan dari persoalan domestik yang lebih dalam: lemahnya konsistensi kebijakan, minimnya komunikasi ekonomi yang meyakinkan, dan ketidakseimbangan antara fiskal dan moneter," jelas Syafruddin.

Senada, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan meyakini ada hal lebih fundamental sekadar tekanan eksternal dari pelemahan rupiah belakangan.

Apalagi, sambungnya, pelemahanan rupiah terjadi ketika indeks dollar AS juga turun. Tak hanya itu, Bank Indonesia sempat menyampaikan ada aliran dana ke negara berkembang (emerging markets)namun rupiah masih mengalami tekanan.

"Artinya ada persoalan di dalam negeri yang lebih dominan bukan faktor eksternal. Fundamental ekonomi Indonesia tidak sehat dan dipercaya dengan kebijakan akhir-akhir ini," ujar Fadhil, Selasa (25/3/2025).

Dia meyakini pasar meragukan kemampuan pemerintah membiayai berbagai program tersebut dan mengatasi berbagai persoalan terkait Danantara, Koperasi Merah Putih, penghapusan kredit UMKM, program makan bergizi gratis, program 3 juta rumah, ketidakpastian hukum, PHK, dan sebagainya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper