Risiko Pelebaran Defisit APBN
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad melihat risiko melebarnya defisit karena penambahan utang untuk membiayai APBN 2025, tetapi tidak akan ‘jebol’ melebihi 3% dari PDB.
Pelebaran tersebut sangat mungkin terjadi karena kondisi penerimaan yang tercanam sebagai konsekuensi dari sejumlah kebijakan untuk menghadapi tarif resiprokal 32% dari Donald Trump.
Misalnya, pemerintah melakukan penyesuaian Pajak Penghasilan (PPh) impor, bea masuk, maupun bea keluar barang-barang tertentu.
“Jadi sebetulnya ketika 32% nanti harga jualnya nanti naik, dengan mengurangi PPh perusahaan bisa menurunkan harga. Tapi konsekuensinya ya penerimaan itu berkurang,” ujarnya, Rabu (9/4/2025).
Terlebih, penerimaan negara saja saat ini telah terganggu akibat penurunan harga komoditas yang juga terpengaruh oleh kebijakan Trump.
Lebih lanjut Tauhid menyampaikan bahwa utang memang menjadi instrumen untuk menutup kekurangan penerimaan tersebut.
Baca Juga
Meski demikian, pemerintah dapat melakukan cara lain dengan menekan belanja sehingga sekalipun utang harus ditambah, tidak akan terlalu banyak.
“Kalau penerimaan berkurang, pemerintah mungkin akan kompensasi subsidinya, dikurangin. Misalnya energi, karena harga asumsinya di APBN itu US$82/barel [minyak mentah Indonesia], mungkin akan dikoreksi,” jelasnya.
Tauhid pun belum menghitung potensi seberapa dalam shortfall yang akan terjadi di pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP)—karena termasuk bea masuk dan bea keluar.
Selain itu, pemerintah juga berpotensi menahan belanja dan melakukan relokasi dalam postur APBN. Sayangnya, ekonomi yang turun akan menjadi konsekuensinya.