Bisnis.com, JAKARTA — Berdasarkan konsensus 15 ekonom yang dihimpun Bloomberg, nilai tengah atau median surplus neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2025 diproyeksikan sebesar US$2,9 miliar.
Meski mengalami surplus, tetapi jumlah tersebut lebih rendah dari realisasi neraca dagang bulan sebelumnya atau pada Februari 2025 senilai US$3,12 miliar.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan proyeksi penurunan nilai neraca perdagangan itu memang sesuai dengan pola musiman.
Faisal menjelaskan bahwa secara historis selalu terjadi penurunan aktivitas ekspor dan impor pada momen akhir Ramadan dan selama Lebaran karena ada libur panjang.
Akhir Ramadan sendiri jatuh pada Maret pada tahun ini. Oleh sebab itu, Faisal meyakini ada penurunan ekspor dan impor pada bulan lalu.
Masalahnya, penurunan diperkirakan akan lebih tajam dari tahun-tahun sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah akibat eskalasi perang dagang usai Presiden AS Donald Trump menerapkan tarif resiprokal kepada mitra-mitra dagangnya termasuk Indonesia.
Baca Juga
"[Jadi] pasarnya juga cenderung mengalami tekanan karena ada antisipasi kebijakan Trump walau di Maret itu belum terlalu terasa sebetulnya, tapi secara demand [permintaan] itu biasanya sudah mulai kelihatan," jelas Faisal kepada Bisnis, Minggu (20/4/2025).
Selain tekanan perekonomian global, dia meyakini penurunan nilai ekspor-impor juga karena adanya tekanan di perekonomian domestik.
Dia melihat belakangan daya beli masyarakat sedang menurun sehingga mempengaruhi permintaan produk-produk impor seperti barang konsumsi, barang modal, barang penolong, dan bahan baku.
Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri dijadwalkan akan mengumumkan realisasi neraca perdagangan Indonesia selama Maret 2025 pada Senin (21/4/2025) esok.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah mewanti-wanti penerapan tarif resiprokal Trump berpotensi menyebab Indonesia kalah saing dari negara-negara dengan yang dikenai tarif lebih rendah seperti Filipina, Malaysia, Korea Selatan, dan India.
Sri Mulyani menuturkan, situasi tersebut menggambarkan pentingnya kondisi perdagangan global saat ini. Dia menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto langsung menggelar pertemuan dengan semua pemangku kepentingan terkait untuk membahas peluang dan tantangan yang ada.
“Karena ini adalah perang bersama. Ini harus bersama-sama antara pemerintah, policy maker, para pelaku ekonomi dan bagaimana kita responsnya,” kata Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi Nasional di Jakarta, Selasa (8/4/2025).