Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai saat ini belum ada kebijakan yang ampuh merespons tantangan global dalam menjaga daya beli dan ekonomi domestik.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdu llah Redjalam melihat saat ini kebijakan moneter dan fiskal tidak cukup akomodatif merespons tantangan global yang meningkatkan ketidakpastian dan semakin menekan ekonomi Tanah Air.
“Respons kebijakan tidak bersikap countercyclical, sementara kita harus dihadapkan pada tantangan global,” ujarnya dalam diskusi IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025-2026 Hanya 4,7%: Indonesia Bisa Apa?, Senin (28/4/2025).
Kebijakan fiskal yang Piter maksud, yakni seperti efisiensi anggaran berserta alokasi yang dilakukan. Misalnya, pemangkasan anggaran dinas Kementerian/Lembaga—meski terdengar bagus—namun membergikan dampak negatif bagi ekonomi khususnya daerah.
Apabila pemerintah memberikan kebijakan yang tidak tepat, maka tren penurunan pertumbuhan ekonomi otomatis akan berlanjut.
Cita-cita mencapai pertumbuhan 6% bahkan hingga 8%, sebagaimana keinginan Presiden Prabowo Subianto, pun akan semakin sulit. Proyeksi dari IMF sebesar 4,7% pun tampak semakin realistif.
Baca Juga
Sementara itu, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute of Development on Economics and Finace (Indef) Rizal Taufikurahman menyampikan setidaknya lima rekomendasi kebijakan agar pemerintah tetap dapat menjaga ekonomi di atas 5%.
Pertama, fokus reindustrialisasi berbasis value chain. Di mana tidak hanya sekadar hilirisasi komoditas primer, namun membangun ekosistem industri intermediate goods, manufaktur berteknologi menengah-tinggi, dan pengembangan R&D lokal (contoh: semikonduktor, baterai EV).
Kebijakan ini membutuhkan insentif fiskal dan perbaikan dari sisi suplai (infrastruktur, logistik, SDM).
Kedua, perlu reformasi dan optimalisasi kebijakan investasi dan perpajakan. Menuru Rizal, pemerintah perlu membuat kebijakan fiskal yang lebih agresif tapi tepat sasaran.
Misalnya, tax holiday yang lebih selektif berbasis performance-based incentives, bukan sekadar sektor prioritas formalitas. Perlunya juga penguatan pada transparansi dan efektivitas pelaksanaan OSS (Online Single Submission).
“Daya tarik pasar Indonesia besar, tetapi belum menjadi magnet karena execution gap antara desain kebijakan dan realisasi lapangan, dan Investor lebih butuh predictability dan policy stability ketimbang insentif fiskal semata,” ujar Rizal.
Ketiga, pemerintah perlu mendorong konsumsi berkualitas melalui kenaikan upah riil dan juga perlindungan sosial yang adaptif. Program belanja pemerintah seperti bantuan sosial harus tepat sasaran untuk memberikan dampak jangka pendek.
Keempat, memperkuat sektor keuangan domestik dan pembiayaan inklusif ke sektor produktif dan UMKM. Diversifikasi instrumen pembiayaan untuk jangka panjang juga penting dilakukan.
Kelima, menjaga stabilitas makro, mulai dari inflasi, nilai tukar, hingga defisit. Rizal mengingatkan dalam hal ini, Bank Indonesia maupun Kementerian Keuangan harus tetap prudent dalam mengelola ekspektasi pasar.
“BI dan Kemenkeu harus hati-hati dalam mengelola ekspektasi pasar, utamanya di tengah volatilitas global dan potensi lanjutan perang dagang AS-China. Stabilisasi harga pangan menjadi salah satu kunci menjaga konsumsi/daya beli masyarakat,” tuturnya.
Saat ini, belum diketahui apa langkah lanjutan yang akan pemerintah ambil untuk menjaga daya beli, usai kunjungannya ke Washington.